Bahasa : Indonesian
Negara
: Indonesia
Penerbit
: Kepustakaan
Populer Gramedia
Penulis : Nio Joe Lan
Jumlah
halaman : 378
1.
Nama Tionghoa
Pada bab ini,
penulis meyatakan bahwa nama Tionghoa tidaklah sulit seperti yang dikatakan
orang-orang pada umumnya. Bahkan dapat dikatakan, nama Tionghoa termasuk pada
nama-nama yang dapat diingat dengan mudah karena nama-nama itu terdiri atas
paling banyak empat buah suku kata. Nama orang Tionghoa terdiri atas dua
bagian, yaitu apa yang disebutkan 'she' dan nama pribadinya. Cara membaca nama
Tionghoa sendiri berbeda-beda tergantung dengan dialek-dialek yang ada di
daerah tersebut. Selain itu, di dalam bab ini juga dijelaskan bagaimana orang
Tionghoa menetapkan pemilihan nama bagi anaknya.
2. Bahasa
Pergaulan Orang Tionghoa
Bab ini menjelaskan
bagaimana orang Tionghoa berbicara dalam kehidupan antar masyarakat. Beberapa
orang Tionghoa masih ada yang menggunakan dialek -dialek Tionghoa, namun ada
juga orang Tionghoa yang sudah tidak menguasai bahasa Tionghoa. Bahkan beberapa
di antaranya sudah mahir berbahasa daerah di mana ia tinggal. Dalam
perbendaharaan kata-kata Indonesia sendiri terdapat juga kata-kata yang
sebenarnya berasal dari serapan bahasa Tionghoa, seperti owe, gua, lu, loteng,
bihun, bakmi, cepek, gopek, dan sebagainya.
3. Sebutan
Kekeluargaan
Bab ini menjelaskan betapa pentingnya kedudukan keluarga dalam
kehidupan orang Tionghoa. Karena keluarga mendapat kedudukan yang sangat
penting, tidaklah mengherankan jika sebutan-sebutan atau panggilan-panggilan
kekeluargaan antara bangsa Tionghoa yang paling besar jumlahnya dibandingkan
bangsa-bangsa yang lain.
Sebutan-sebutan kekeluargaan dalam keluarga Tionghoa sendiri
berbeda-beda berdasarkan dialek etnis masing-masing. Contohnya ada orang
Tionghoa yang memanggil ayahnya hutjin, thia, thia-thia, entjek, asuk, papa dan
sebagainya. Sebutan-sebutan keluarga ini dibahas lengkap di dalam bab ini,
mulai dari panggilan ayah, ibu, kakak, paman, bibi, dan anggota keluarga
lainnya. Selain itu bab ini juga menjelaskan bagaimana seorang Tionghoa
menyebutkan orang lain.
4. Makna
Warna Bagi Kehidupan Orang Tionghoa
Makna warna memiliki
peran penting terhadap kehidupan orang tionghoa karena warna memiliki arti
tersendiri dalam kehidupan manusia. Orang Tionghoa mempunyai beberapa arti
simbolik. berikut adalah warna-warna yang dipercaya orang tionghoa memilik arti
:
1. Warna ungu
melambangkan pemujaan kepada kaisar-kaisar di zaman dinasri Chou (1027 SM –
21 SM).
2. Warna
kuning melambangkan kekaisaran di Tiongkok dan tidak dapat digunakan secara
sembarang oleh rakyat jelata.
3. Warna merah
melambangkan kebahagiaan orang tionghoa. Sampai sekarang pun di indonesia,
warna merah selalu identik dengan perayaan adat-budaya orang Tionghoa seperti
acara pernikahan, perayaan imlek, acara ulang tahun.
4.
Warna putih sebagai simbol berkabung saat ada orang yang meninggal.
5.
Warna biru melambangkan golongan sarjan.
6.
Warna hijau dan rimba diartikan sebagai hutan hijau yang artinya para
pendekar-pendekar yang menggembara dari satu tempat ke tempat lain.
5. Kepercayaan
Tionghoa
Di Tiongkok
sebagian besar rakyatnya menganut agama Buddha, tetapi Tiongkok sendiri belum
pernah melahirkan suatu agama. Berikut ini adalah beberapa kepercayaan Tionghoa
di Indonesia:
1. Pengajaran Kung-Tze ialah Filsafat
Pengajaran Kung-Tze dipandnag sebagai hubungan antara manusia dengan
ketatanegaraan. Di Indonesia ajaran ini tidak dipandang sebagai sebuah agama,
melainkan hanya kepercayaan saja. Salah satu tempat ibadahnya adalah kuil “Bun
Bio” di Surabaya.
2. Tionghoa Hwee Koan dan
Konfusianisme
Ajaran dalam aliran ini sangat jarang ada di Indonesia. Aliran ini banyak
dikembangkan oleh Tionghoi-Peranakan yang ada di Indonesia.
3. Taoisme Lao Tze = Filsafat
Ajaran ini tidak terlalu banyka pengikutnya di Indonesia. Ajaran Taoisme
awalnya adalah sebuah filsafat, namun di Tiomgkok dikembangkan menjadi sebuah
agama. Di Indonesia sendiri aliran Taoisme banyak yang menyembah
berhala-berhala buddhisme.
4. Kuan Yin
Patung Kuan Yin banyak dimiliki oleh orang Tionghoa di Indonesia. Kuan Yin
banyka dipuja karena melambangka cinta kasih terhadap manusia.
5. Neraka
Bangsa Tionghoa percaya bahwa neraka itu ada. Dalam konsepsi bangsa Tionghoa
keadaan di neraka disusun menurut hierarki di dunia. Raja Akherat tersebut juag
suka menerima suapa seperti yang ada di dunia nyata.
6. Sembahyang Sam Kai
Sembahyang Sam Kai dilakukan oleh orang Tionghoa di malam hari pada saat bulan
bersinar keperakan. Pada meja sembahyang terlihat 2 batang tebu yang diikat di
sebelah kiri dan kanan meja sembahyang. Sembanhyang Sam Kai dilakukan untuk
membayar kaul.
6. Kuil-Kuil
Tionghoa
Di Indonesia banyak
sekali kuil-kuil Tionghoa yang tersebar di seluruh nusantara. Kuil-kuil
tersebut terdiri dari berbagai macam aliran dalam bangsa Tionghoa. Bangunan
kuil Tionghoa tersebut berbeda-beda tergantung alirannya. Beberapa contoh kuil
yang ada di Indonesia antara lain; Kuil Buddha, Kuil Kim Tek, Kuil Kuan Yin,
Kuil Mak Tjo Po, Kuil Hok Tek Tjeng Sing, Kuil Kung Tze, Kuil Sam Po Kong dan
Rumah Abu yang banyak tersebar di kota Jakarta. Selain bangunan berbentuk kuil
tersebut, ada beberepa tempat pemujaan yang berasal dari alam, contohnya di
Gunung Kawi yang memliki kepercayaan sendiri di mata orang tionghoa.
7. Berjalan
di Atas Api Di kuil Thiongkok
Dapat menyaksikan
upacara berjalan di atas api ini ( seharusnya di atas api memakai kata di)
Jepang mengatakan bahwa jepang yang mengadakan acara tersebut dan tidak
menyebut thiongkok ( padahal itu di kuil thiongkok yang mengadakan ) Dan
terdapat kaun dan impian tercapai ( sebenar nya hanya keprcayaan saja ) Bahwa
walaupun meminjak bara atau batu yang marong ( seharusnya menginjak ) Bouman
menuliskan mengenai upacar berjalan atas api ( seharusnya memakai kata di
menjadi di atas api) Karena keluarganya mendadak dihinggapi penyakit kalap (
seharusnya penyakit gaip) Di kuil sian djin ku po ciluwer ( harusnya
menggunakan kata kata melihat dengan mata kepala saya sendiri ) Orang-orang
tionghua dengan shio-shio2 ( harusnya shio-shio saja tidakn menggunakan angka
2) Di sekitar tumbupkan arang it,dengan jarak tertentu,tam- ( harusnya ada
selanjutnya bukan tam- malah ada kata kata lain lalu di lanjutkan ) Pengunjung
memasang hio yakni berwujud dengan membakar batang dupa ( seharusnya bukan
berwujud tetapi sebagai simbolis) Dalam rumah pemujaan tersebut,tangsim-tangsim
itu lagi- lagi berbicara dialek hokkian (seharusnya tangsim tersebut selalu
berdialog hokkian) Dapat di artik badan yang kesurupan ( seharusnya
dapat di artikan sebagai badan ) Belum dapat diterangkan ilmu ada kata-kata
tetapi tidak di jelaskan ( seharusnya menggunakan kata dengan dapat ) Tangsim
tersebut menjerit –jerit kesakitan dan luka bakar tertoreh dikulitnya ( kulit
nya tertoreh luka bakar ) Mandi minyak mendidih ( mandi dengan minyak mendidih
).
8. Pemujaan
Leluhur
BANGSA (harusnya
menggunakan huruf besar nya di awal) Tidak bangsa-bangsa lain ( harusnya tidak
terhadap dengan bangsa-bangsa lain) pememujaan leluhur juga dapat dijadikan
sebagai saat tepat untuk berkumpul dengan keluarga bisa di
bilang,pemujaan leluhur menyatukan kembali sanak keluarga yang telah lama pisah.
Mencari abu “pada tahun imlek anggota-anggota keluarga di haruskan datang
mencari abu”.
9. Bakti
Anak Pada Orangtua
Berbakti pada orang
tua itu wajar,tetapi bangsa tionghua bakti itu memiliki arti lebih dalam yang
berwujudkan terhadap norma anak tersebut. Memakai putih dalam kebudayaan
tionghua keluarga yang mengalami berkabung di wajibkan memakai busana serban
putih atau tidak terang Tabu selama berkabung tidak boleh menghadiri pesta dan
membuat pesta,tidak boleh bersolek,tidak boleh memakai perhiasan. Jaga baik
nama orang tua hao membebankan tugas kewajiban kepada orang tionghua,tugas itu
menjaga nama baik kelurga dan perbuatan diri sendiri Perubahan perubahan
tiada orang tionghua meninggalkan pekerjaannya untuk berdiam dalam sebuah
gubuk.
10. Huruf TionghoaDan berbagai Tugasnya
HURUF Tionghoa merupakan sebuah alat pengutara pikiran yang sesungguhnya
memiliki kedudukan khas antara alat-alat komunikasi pikiran manusia.
Huruf-huruf itu bukan huruf untuk mendapatkan bunyinya suatu kata.
Melainkan huruf-huruf itu kata-kata tiap huruf sebuah kata dengan arti khas dan
suara khas.
·
Dari lukisan manjadi huruf
Semua huruf Tionghoa tak lain tak bukan melinkan gambar dalam bentuk
bersahaja dari apa yang orang dapat lihat. Banyak huruf Tionghoa berasal dari
gambar. Tidak heran ada orang barat yang menamakannya : huruf gambar.
·
Huruf Tionghoa juga ideogram
Selain huruf gambar, huruf Tionghoa pun ideogram. Dengan ini hendak
dikatakan, bahwa huruf Tionghoa mengandung suatu ‘idea’, suatu ‘anggapan’.
Huruf latin bukan ideogram, karena tiada kadungannya sesuatu anggapan. Berbeda
dengan hruf Tionghoa, yang semuanya mempunyai suatu arti tertentu.
·
Menyelidiki keadaan zaman purba melalui huruf
Tionghoa
Dari bentuknya sejumlah huruf Tionghoa kini ada sarjana sejarah Tiongkok yang
ingin menetapkan suatu kedaan tertentu pada zaman purba itu. Misalnya Fan We
Lan menyatakan pendapatnya dalam bukunya ‘Chung Kuo Tung Shih Chien Pien’,
mengenai huruf ‘bin’ (=rakyat) bahwa bentuk huruf ini agak mirip dengan gambar
kasar seorang bertelanjang dengan kakinya digandulkan potongan kayu. Tegasnya
kini ada suatu aliran yang hendak menarik suatu kesimpulan mengenai suatu
keadaan sosial zaman purba dengan menganalisakan huruf-huruf. Terutama soal,
sampai zaman apa dapat dinamakan zaman perbudakan di Tiongkok, tengah
dipelajari dengan seksama dewasa ini di Tiongkok.
·
Tiga buah huruf ‘matahari’ = ‘kristal’
tiga buah huruf ‘jit’ (=matahari), sebuah dia atas dan dua buah yang lain
dengan sejajar di sebelah bawahnya, merupakan huruf ‘keng’, yang diartikan
‘kristal’. Sesuatu barang kristal memang mempunyai banyak segi. Dan tiap segi
itu dapat bergilang gemilang, jikalau disinari matahari atau cahaya terang.
·
Huruf ‘tung’ = ‘timur’ seolah-olah suatu
pemandangan visuil
Huruf ‘tung’ (=timur) dengan mempergunakan kebalikannya cara di ataspun
dapat kita mengubah sebagai gambar. Huruf ini terdiri atas dua buah huruf lain,
huruf ‘bok’ (=’pohon’) dan huruf ‘djit(=matahari). Manakala huruf ‘tung ini
kita pecah-pecah dalam bagian-bagiannya dan bagian-bagian itu kita gantikan
dengan gambar yang terkandung dalam arti huruf bagian itu, kita jadi
mendapatkan sehelai gambar pohon dengan matahari.
·
Juga huruf ‘lueh = ‘kepala putik’
Huruf ‘lueh’, yang berartikan ‘kepala putik’, yakni terdiri atas sebuah
singkatan huruf dan tiga buah huruf lain. Keempat unsur penyusunan huruf ialah
singkatan huruf ‘hua’ (=bunga’). Dan tiga buah huruf ‘sim’ (=jantung’, juga
‘pusat’). Oleh karenanya huruf ‘lueh’ itu dapat di ‘terjemahkan’ ke dalam
bahasa gambar. Atau juga dapat dikatakan: diperalihan ke dunia lukisan.
·
Sajak = gambar, gambar = sajak
Oleh karena huruf Tionghoa bukan ditulis dengan sebatang pena, melainkan
dengan sebuah alat menulis yang terbuat dari bulu yang dinamakan pit dan yang
dengan begitu lebih sesuai dipandang sebagai suatu alat seni lukis, sifat
gambar huruf Tionghoa lebih menampil ke muka pula. Menulis huruf Tionghoa
memang sama juga melukis gambar
·
Dapat di ‘terjemahkan’ ke dalam bahasa gambar
Karena berdasarkan gambar, huruf-huruf Tionghoa golongan ini, golongan yang
berdasarkan pemandangan visuil orang membuatnya, dapat di‘terjemahkan’ ke dalam
bahasa gambar. Sesudahnya di’terjemahkan’ ke dalam bahasa gambar, jelasnya pada
sesudahnya bukan berbentuk huruf pula melainkan bercorak gambar, gambar ini
dapat dijadikan bahan cangkriman yang menawan hati dengan minta orang mencoba
mendapatkan pula huruf mulanya.
·
Cangkriman dengan huruf Tionghoa
Misalnya dapat diberikan cangkriman sebagai berikut: dari kiri mendatangi
seorang perempuan. Lantas dari kanan nampak anak laki-laki. Setelah mereka
bersua, berjalanlah mereka lebih jauh bersama-sama. Huruf apakah yang
dimaksudkan?
Jawabnya: dari kiri mendatangi seorang anak perempuan berarti, bahwa di
sebelah kiri ada huruf untuk anak perempuan. Atau untuk wanita seumumnya, huruf 女. Kemudian di sebelah kana nampak seorang anak laki-laki, yakni 子.
·
Impian bakal suaminya penyair Li Ching Chao
Dalam sejarah
persajakan Tiongkok tercantum sebuah peristiwa puitis mengenai cangkriman
dengan huruf Tionghoa. Ketika Chao Ming Chen (lafal Kuo-yü), seorang penyair
yang kemudian menjadi suaminya seorang penyair wanita masyur zaman Sung Utara
(960-1127), Li Ching Chao, akan dipilihkan seorang pasangan oleh ayahnya, ia
bermimpi. Setelah mendusin, tak dapat pula ia ingat dengan sempurna apa yang telah
diimpikannya. Ia hanya masih ingat, bahwa ia tengah menghafalkan sejilid buku.
·
Lagi sebuah contoh analisa etimologis impian
Adapula sebuah
contoh menawan hati mengenai penafsiran impian melalui proses sebagai di atas,
yang dapat kita namakan: analisa etimologis. Contoh inipun dari kesastraan
Tiongkok. Dalam ‘Mu Lan Tsung Chün’ (mu Lan Memasuki Tantara’) dituturkan,
bahwa pada sebelumnya gadis Mu Lan itu dilahirkan, neneknya telah mendapatkan
sebuah impian.
·
Huruf Tionghoa sebagai tumbal
Suatu cara lain pula
penggunaan huruf Tionghoa. Sebagai…tumbal!, sebuah contoh mengenai ini terdapat
dalam cerita ‘Chien Lung Chün Yu Chiang- nan’. Novel ini mengisahkan perjalanan
kaisar Chie Lung (1736-1795) dalam penyamaran kesebelah selatan sungai Yngtze.
Ditururkan antara lain, bahwa ketika hendak melewati sebuah bukit disungai itu
nahkoda perahu mengumpulkan uang penumpang-penumpangnya.
Uang itu
dikumpulkan untuk membeli batang dupa, lilin dan kertas sembahyang, karena
hendak dilakukan sembahyang ditepi sungai itu untuk memohon supaya mereka dapat
melewati bagian itu dengan selamat. Perahu itu sesungguhnya dapat melalui
bagian sungai itu biasanya berbahaya tanpa membakar batang dupa, lilin, dan
kertas sembahyang. Karena raja naga urung menghadapi kaisar.
·
Huruf ‘macan’ dengan gincu obat sakit bengok
Untuk penyakit
bengok, yakni penyakit bengkak pada leher, orang Tionghoa umumnya mempergunakan
suatu cara yang agak luar biasa. Yakni menuliskan sebuah huruf ‘hou’ = ‘macan’
dengan gincu, sebuah bahan cat Tionghoa yang berwarna merah, pada leher yang
bengkak itu. Dan penyakit itu sembuh.
·
Dahulu huruf Tionghoa di pandang saleh
Pada zaman ujian
kesastraan masih menjadi kunci jabatan-jabatan negeri, huruf Tionghoa dipandang
sebagai sesuatu yang saleh oleh orang Tionghoa. Karena pandangan ini , orang
menganggap pemali hukum-hukum memijak huruf Tionghoa yang tertulis. Kini
pandangan saleh akan huruf Tionghoa itu sudag lenyap. Pandangan demikian dewasa
ini memang tak dipertahankan.
·
Tanda-tanda fenotis untuk huruf-huruf Tionghoa
Karena huruf
Tionghoa sulit dibaca, telah diusahakan untuk mempermudah cara mengenalinya.
Ini dilakukan dengan mengadakan sejumlah tanda fenotis, sehingga dengan
tanda-tanda fenotis itu huruf-huruf itu dapat dieja. Bahasa Tionghoa adalah
bahasa mono silabel (kata-katanya bersuku satu). Tiap huruf adalah kata. Tiada
huruf tanpa arti. Ada juga huruf-huruf yang tak mempunyai sesuatu arti, tetapi
ini adalah huruf-huruf yang meniru suara.
·
Lagu suara menyukarkan pengejaan
Kata-kata Tionghoa
banyak yang sama bunyinya. Untuk membedakan kata yang satu dengan kata yang
lain, yang bersamaan suara, kata-kata Tionghoa diucapkan dengan lagu tertentu.
Apabila orang mengucapkan sepatah kata dengan lagu yang keliru, orang tidak
mengucapkan kata yang dimaksudkannya, melainkan sebuah kata lain, dengan arti
yang lain pula! Dengan huruf-huruf tionghoa yang sekarang ini kesukaran itu tak
Nampak, karena huruf-huruf yang berbunyi sama berbeda lagu suaranya dan
berbeda pula bentuknya.
·
Menyebutkan dua buah kata – kata untuk menetapkan sebuah antaranya
Dengan menyebutkan
serupa barang atau perbuatan dengan dua buah kata - kata, sampai pada suatu
dapat dielakkan salah faham yang mudah sekali terbit karena orang yang
mengucapkannya telah keliru menekankan suaranya atau orang yang mendengarnya telah
salah mengartikannya. Kata ‘matahari’ ialah ‘re’. sekarang untuk ‘matahari’
banyak digunakan dua buah kata-kata, yakni ‘tai-yang’. Dengan dua kata-kata
‘tai-yang’ ini orang mendekati kata-kata yang terdiri atas lebih dari satu
suku. Dengan mengatakan ‘tai-yang’, walaupun orang mengucapkannya dengan lagu
suara tak tepat, si pendengar akan mengetahui benar maksud sipembicara.
·
Gerakan Seribu Huruf
Huruf Tionghoa
sukar dipelajari karena pertama, sulit dituliskannya, dan kedua, amat besar
jumlahnya. Jumlah ini sama banyaknya seperti jumlah kata-kata. Kesukaran
mengenai jumlah telah diinsyafi oleh Dr. James Yen. Sarjana ini pada masa
perang dunia I (1914-1919) telah pergi ke Perancis untuk memberikan tunjangan
moril kepada tentara kuli yang Tiongkok mengirimkan ke Eropa sebagai bantuannya
kepada kawan – kawannya. Amerika Serikat, dalam peperangandengan Jerman dan
sekutunya. Jumlah 5000 huruf, yang seorang harus menguasai untuk kebutuhan
sehari-hari, dianggap James Yen terlalu banyak bagi mereka itu. Maka ia memilih
1000 buah huruf yang terpakai terbanyak dan mengajarkannya kepada kuli-kuli
itu. Oleh karena ini maka gerakan James Yen itu dikenal dengan sebutran Gerakan
Seribu Huruf.
·
Bentuk huruf Tionghio
Jenis bentuk huruf
Tionghoa tidak banyak. Harian-harian mempergunakan bentuk empat persegi. Bentuk
ini boleh kita namakan: bentuk tercetak huruf Tionghoa. Saya mengatakan empat
persegi, oleh karena tiap huruf itu seolah-olah dilukiskan didalam lingkungan
empat persegi. Hingga dapatlah diketahui dengan mudah, berapa banyak huruf
(=kata – kata) dalam tiap garis.
·
Jurusan penulisan huruf – huruf Tionghoa
Bentuk tertulis
huruf Tionghoa tidak dapat dimasukkan ke dalam lingkungan sebuah empat persegi.
Bila dituliskan huruf yang sulit itu, yang terdiri atas banyak coretan, bahkan
sampai lebih dari 20 coretan. Berbentuk lebih panjang dari atas ke bawah dan
lebih pendek dari kiri ke kanan.
·
Penyederhanaan bahasa tertulis Tionghoa
Republik rakyat
tiongkok kini tengah bekerja keras untuk menyederhanakan bahasa tertulis Tionghoa.
Huruf – huruf yang sulit – sulit, yakni yang terdiri atas banyak coretan,
misalnya lebih dari 20 coret, disederhanakan bukan saja dengan menghapus jumlah
terbesar coret – coret itu, melainkan juga dengan menciptakan sebuah huruf lain
yang gampang ditulisnya.
11. Kaligrafi
Jika membicarakan
tentang huruf Tionghoa sudah sepatutnya juga disertai membicarakan tentang
kaligrafi.
·
Karena sifat huruf Tionghoa dilukiskan
Kaligrafi ialah
ilmu menulis huruf indah. Orang uang pandai menulis huruf latin dengan bagus
tidak bisa disamakan dengan orang yang bisa menulis huruf Tionghoa dengan
indah. Saya katakana: melukis huruf Tionghoa. Sebenarnya huruf Tionghoa memang
bukan ditulis seperti kita menulis Latin, melainkan dilukis. Semua huruf
Tionghoa yang ditulis dengan bagus, menunjukan suatu keseimbangan yang permai,
dan harmoni pada keseluruhannya. Hal ini tidak mudah dilakukan. Hanya seorang
yang memiliki perasaan penuh keindahan saja, dan orang yang memiliki
keseimbangan yang mampu menulis huruf Tionghoa yang bagus, yang tegaknya
seimbang pada semua bagiannya dan tangkas pada keseluruhannya. Alat yang
dipergunakanuntuk melaksanakan pekerjaan menulis huruf Tionghoa pun,
seolah-olah menyalahkan orang untuk mengatakan menuliskan huruf Tionghoa, dan
menganjurkan orang menyebutnya: melukis. Alat tulis Tionghoa itu serpa alat
untuk orang membuat gambar, yaitu alat yang diberi nama “pit”. “pit” ini
merupakan alat yang dipergunakan untuk menulis huruf Tionghoa dengan ilmu
melukis. Dengan adanya factor ini tidak mengherankan jika di Tiongkok seorang
yang bisa menulis huruf dengan bagus, dia disebut seorang ahli kaligrafis dan
dipandang tinggi. Kaligrafi itu pun menyatakan, bahwa dia seorang yang bisa
membaca dan menulis, oleh karena di Tiongkok tiudak banyak orang yang bisa mengetahui
rahasia huruf-huruf itu, maka mengertilah kita, mengapa rakyat jelata mengagumi
dan menghormati hasil kaligrafis. Barang kali kita bisa memandang kaligrafis
sebagi suatu yang ada hubungannya antara seni menulis dan melukis.
·
Syarat untuk bisa menulis bagus
Bahwa proses
menulis huruf Tionghoa tidak bisa dilakukan sembarangan, jika orang
menginginkan hasil yang baik, itu sudah jelas.sebagai hiasan, huruf Tionghoa
memiliki daya tarik yang kuat. Dalam salah satu bukunya, sinologi Henri Borel
telah menyampaikan kekagumannya pada papan nama di depan perusahaan atau
toko-toko orang Tionghoa.
·
Doa dan Hiasan
Pada rumah orang
Tionghoa di Indonesia, kita sering kita lihat diletakkan di sebelah kana dan
sebelah kiri sehelai kertas merrH Yng bertulisan dua buah huruf Tionnghoa
dengan tinta hitam. Huruf-huruf itu pada umunya indah sebab bukan sembarang
anggota keluarga penghuni rumah itu yang telah menuliskannya. Bukan, maleinkan
anggota keluarga yang terbagus tulisan-tulisannya. Jika dalam kelurga itu tidak
yang bisa menulis huruf Tionghoa dengan bagus dan indah, maka diminta jasa baik
seorang kaligrafis. Sumbangan tulisan tanga di kalangan bangsa Tionghoa menjadi
keindahan dan unik, sekalipun hal ini jarang terjadi.dalam semua ini tak lain
merupakan kenyataan, bahwa huruf Tionghoa bukan alat komunikasi, tetapi juga
barang hiasan.
·
Tulisan tangan orang ternama untuk nama perusahaan dan buku
Nama perusahaan
Tionghoa di depan kantornya juga, biasanya tulisan tangan seorang pemimpin atau
seorang sahabat pemilik perusahaan itu. Dia menuliskan nama perusahaan itu di
atas sehelai kertas. Bentuk ‘tulisan tangan itu” kemudian dipindahkan dari
kertas ke tembok dimuka kantornya, dan digunakan pasir semen untuk mencontoh
tulisan tangan itu. Pada pojok kiri bawah terlihat hurufnya lebih kecil. Ini
nama orang yang menulis nama perusahaan itu.
·
Memuja dewata dengan hanya menuliskan namanya
Di dalam rumah
sebuah keluarga Tionghoa, khususnya yang memuja suatu dewa, terkadang di rumah
itu tidak menaruh patung dewa yang dipujanya, melainkan ia hanya memajang
sehelai kertas merah yang bertulisan nama dewa itu. Nama dewa itu ditulis
dengan huruf – huruf yang indah. Sehingga kaligrafi dapat membantu kepercayaan
bangsa Tionghoa. Seorang yang bisa menulis huruf Tionghoa yang indah bisa memperoleh
nafkah dengan menjual hasil karyanya. Tulisan-tulisan misalnya untuk di dinding
menjelang tahun baru imlek.
12.
Hari Raya Tionghoa
Hari raya umum
bangsa Tionghoa atau hari raya yang ditaati dan dirayakan oleh orang Tionghoa
tidaklah banyak. Tetapi jika pada hari raya yang ditaati itu ditambahkan dengan
hari raya yang berhubungan dengan hari ulang tahun dewa-dewa yang dipuji oleh
bangsa Tionghoa, ditambah lagi dengan hari peringatan berbagai tokoh bersejarah
yang telah berjasa pada bangsanya, makanya bisa dikatakan dalam hitungan
penanggalan imlek hamper setiap bulan ada hari rayanya.
·
Tahun baru di Tiongkok
Tiongkok menjadi
republik pada tahun 1912, mereka menggunakan penanggalan tarikh masehi. Oleh
sebab itu kata Tahun Baru memerlukan penjelasan lebih jauh. Apakah Tahun Baru
itu maksudnya Tahun Baru Masehi atau Tahun Baru Imlek? Ketika Republik Tiong
Hoa Bin Kok memerintah Tiongkok, dan karena mereka menggunakan penanggalan
resmi Tahun masehi, maka Tahun Baru yang dimaksud adalah Tahun Baru Masehi. Tahun
Baru Imlek dianggap sudah usang. Malah perayaan Tahun Baru Imlek dilarang.
Dengan system solar atau yang dihitung berdasarkan peredaran matahari/ ditambah
system lunar sangat tepat untuk berbagai pekerjaan pertanian. Tiap tanggal 15
berdasarkan system lunar, maka rembulan terlihat purnama sempurna, dan
air laut pun pasang. Ketika orang Tionghoa yang memelihara “abu leluhur” pada
tanggal 1 dan 15 masehi diperintahkan membakar hio, sungguh sesuatu yang tidak
mungkin, karena perbedaan antara system lunar dan solar itu. Bukankah mereka
anggap pada tanggal 15 imlek-lah, rembulan yang bundar selalu bertahta di
langit yang biru? Membakar hio (dupa) pada tanggal 1 dan tanggal 15 imlek
merupakan cara atau jalan yang menghubungkan tarikh Imlek dengan kepercayaan bangsa
Tionghoa.
·
Tahun baru imlek di Indonesia
Orang Tionghoa di
Indonesia tetap merayakan Tahun Baru Imlek, sekalipun ada juga yang merayakan
Tahun Baru Yanglek (Masehi). Tetapi saat ,merayakan Tahun Baru Masehi itu,
belum umum di kalangan bangsa Tionghoa waktu itu.
·
Dewa dapur naik
Tahun Baru Imlek
sebenernya sudah dimulai seminggu sebelum tanggalnya tiba. Yakni dengan
sembahyang “Perjalanan Dewa Dapur (Tjao Kun Kong) ke langit”. Tempat Dewa Dapur
ada di dapur-dapur orang Tionghoa. Naiknya Sang Dewa Dapur diantar dengan
pembakaran hio (dupa) harum, ,emyediakan sajian dan membakar mercon atau
petasan.
·
Menjelang Tahun Baru
Sehari Tahun Baru
Imlek, orang-orang mulai sibuk mengatur persediaan untuk menyambut Tahun Baru.
Pada hari itu orang Tionghoa mengadakan sembahyang Tahun Baru. Bagi keluarga
yang “memelihara “abu leluhurnya”, mereka bersembahyang di meja abu. Orang yang
tidak “memelihara abu leluhur”, jum;ah mereka banyak sekali – menaruh sebuah
meja menghadap ke pintu depan rumahnya dan diatas meja ini disediakan sesaji,
lalu mereka bersembahyang.
·
Kue China
“Kue China” dijual
dengan hitunga susun atau hitung kiloan. Oreang pun boleh membelinya satu dua
buah. Bias dikatak an bahwa “Kue China”
terhitung penemuan yang istimewa. Kue ini ternyata bias disimpan lama tanpa
jadi rusak. Beberapa bulan setelah tahun baru.
·
Perayaan yang dilaksanakan oleh yang tidak “memelihara abu”
Bagi golongan yang
tidak “memelihara abu”, perayaan itu sederhana saja. Orang itu membersihkan
rumahnya, menyediakan pakaian baru bagi anak-anaknya, dan mengatur kue di atas
sebuah meja untuk mejha tamu-tamu yang akan dating kerumahnya. Selesai sudah
tugas untuk menyambut Tahun Baru itu.
·
Perayaan oleh yang “memelihara abu”
Bagi golongan
“memelihara abu”, selain menghadapi kesibukan bukan seperti yang tidak
“memelihara abu”, dia juga harus mengatur dan menghias “meja abu”. Meja abu.
Pada jam 12 malam, atau waktunya berganti tahun kembali kelurga itu bersujud di
depan meja abu. Tapi hal ini tidak selalu dilakukan pada jam 12 malam, terkadang
sebelum jam dua belas malam.
·
Tidak menyapu
Kebanyakan kelurga
Tionghoa tidak menyapu rumah dan halaman rumahnya pada harian Tahun Baru dan
dua hari sesudah itu. Konon katanya tidak menyapu itu agar jangan sampai
keluarga itu menyapu itu agar jangan sampai keluarga itu menyapu keluar rejeki
yang ada dirumah mereka.
·
Dewa Dapur turun
Pada tanggal 8
malam ada orang Tionghoa yang mengatur meja sembahyang di depan pintu rumahnya.
Orang itu melakukan ‘Sembahyang Tuhan Allah” di Jakarta untuk menghormati Giok
Hong Siang Te, Kaisar Pualam yang hari ulang tahunnya jatuh pada esok hari,
yaitu tanggal 9 bulan 1 Imlek. Suasana Tahun Baru berjalan terus, hanya taka da
upacara yang penting sesudah tanggal 9 dan ini berlangsung sampai tanggal 14.
·
Goan Siao atau Tjap go meh
Pada tanggal 14
malam, sebagaimana juga pada malam esoknya, tanggal 15, dirayakanlah pesta Goan
Siao. Pesta ini di Indonesia lebih dikenal dengan nama Tjap Go Meh. Goan Siao
sebutan lain dari Goan Meh, yang diartikan Malam Goan. Kata “Goan” ini
singkatan dari “Siang Goan”. Dan “Siang Goan” ini berartikan : bulan pertama
tanggal 15. Sehingga Goan Meh ialah Malam Tanggal 15. Sehingga Goan Meh ialah
Malam Tanggal 25. Inilah arti sebutan “Tjap Go Meh” pula karena Tjap Go = 15
dan Meh = malam.
·
Tjap Go Meh di Indonesia
Pesta Tjap Go Meh
di Indonesia tidak banyak menunjukkan sifat Goan Siao di Tiongkok. Tidak banyak
lampion yang nampak dalam perayaan di Indonesia. Yang banyak terlihat
rombongan-rombongan berpelisiran, dengan membawa music, dengan menandakan dan
menyanyi-nyanyi, dan dengan minum bir. Tiap rombongan mengurung diri di dalam
lingkungan tambang, supaya tiada ‘anggota’ nya yang kesasar dan hilang dalam
lautan manusia Tjap Go Meh itu.
·
Sembahyang Sam kai
Tidak ada upacara
khusus pada perayaan Tjap Go Meh. Hanya beberapa keluarga mengatur meja
sembahyang dihalaman muka rumahnya. Mereka melakukan “Sembahyang Sam Kai”.
Yakni sembahyang kepada langit, Bumi dan Manusia.
·
Tjeng Beng
Dalam bulan ketiga
Tarikh Imlek jatuhlah hari raya Tjeng Beng. Tanggalnya menurut Tarikh itu tidak
tetap, tetapi pada permulaanbulan itu. Menurut penanggalan Masehi, hari Tjeng
Beng ini jatuh pada tanggal 5 atau 6 april. Tjeng Beng berartikan “bersih” dan
“murni”, Beng ialah “terang”. Jadi Tjeng Beng berarti “Bersih-Terang”. Pada
hari itu orang Tionghoa berziarah ke makam leluhur mereka dengan membawa batang
dupa, lilin, kertas sembahyang dan sedikit sesajian. Mereka mengunjungi kuburan
leluhur mereka untuk membersihkannya.
·
Makam dan “Hong Sui”
Banyak kuburan
tionghoa dibuat menurut kepercayaan “Hong Sui”, istilah “Hong Sui” menetapkan
antara lain, tempat dan letaknya makam. Tempat ini dipilih oleh seorang sinshe
“ Hong Sui”, yang diminta pertolongannya oleh keluarga yang bersangkutan.
Sinshe ini lalu mencarilah suatu tempat yang “baik” dengan jalan “mengukur”,
sebagaimana pekerjaan itu dinamakan.
·
Kertas kuning di atas makam
Diatas batu bongpai
(nisan Tionghoa) makam yang sudah dikunjungi sanak keluarganya diletakkan
beberapa lembar kertas kuning panjang kecil.menurut sebuah dongeng, perletakan
beberapa helai kertas kuning panjang-kecil itu di atas batu Bongpai berasal
dari tindakan kaisar Tju Goan Tjiang (kuo-yu: Chu Yuan Chang), pambangun
dinasti Beng (kuo-yu: Ming).
·
Toan Jang atau Petjun
Sesudah Tjeng Beng,
datanglah perayaan Toan Jang, pada bulan 5 hari 5 imlek. Di Indonesia ini
dinamakan pesta Phetjun. Inilah petsa di atas air, dengan perahu-perahu naga
berbalapan diiringi ritme genderang, canang dan gembreng atau cecer. Di Jakarta
pada permulaan abab ke 20, pesta Phetjun di rayakan di kali-kali di kampung
Tionghoa.
·
Sebab-musabahnya perayaan Phetjun
Perayaan Phetjun
merupakan perayaan bersejarah. Inti pokonya tak lain untuk memperingati seorang
patriot besar. Kut Goan (Kuo-yu: Chu Yuan). Kut Goan (340 seb. M. – 278 seb.
M.) seorang tokoh zaman Liat Kok, zaman berbagai-bagai Negara, suatu masa
sangat kacau oleh karena berbagai-bagai negara itu perang-memerangi. Selain
sebagai negarawan, Kut Goan pun seorang penyair kenamaan dan seorang filsuf.
·
Kue Tjang dan daun bambu
Keliatannya yang
senula di berikan kepada arwahnya Kut Goan bukan kue Tjang, melainkan beras.
Untuk memperingati Kut Goan tiap tahun rakyat berduyun-duyun pergi ke sungai.
Kebiasaan ini kemudian beralih menjadi pesta air, yang sampai sekarang masih
dapat kita saksikan.
·
“penangguhan” penyiksaan arwah-arwah pada bulan tujuh
Pada bulan tujuh
menururt kepercayaan Taoistis, roh-roh yang terlantar di akhirat di berikan
“penangguhan” penyiksaan yang harus dialami mereka dalam neraka akibat dosa
yang mereka perbuat di dunia. Penangguhan penyiksaan itu sebulan lamanya.
·
Sembahyang tjio-ko
Keisitimewaan bulan
tujuh ialah sembahyang Tjio-Ko pada kuil Tionghoa. Sembahyang ini dilakukan
untuk roh-roh yang tidak disembahyangkan sanak keluarganya di dunia. Mereka itu
tentu kelaparan. Untuk mereka di selenggarakan sembahyang Tjio-ko ini.
·
Kisahnya Bok Lian
Kisah Bok Lian,
seorang aanak berbakti. Ketika ibunya meninggal,dengan kekhasiatan sehelai
bendera yang dipeolehnya dari gurunya, Bok Lian telah pergi ke akhirat. Dia
disini memohon pada Gian Lo Ong. Raja akhirat, supaya diperkenakan untuk
menggatikan menjalani hukuman yang dijatuhkan pada arwah ibunya.
·
Bulan purnama pada bulan 8 tanggal 15
Pada tanggal itu,
atau lebih benar pada malam tanggal 15 atau tepatnya pada tabggal 14 malam,
menurut anggapan bangsa Tionghoa bulan mencapai taraf purnama yang
sempurna-sempurnanya. Bulan purnama terbundar dan tercantik pada bulan 8
tanggal 15. Oleh karenanya pada tabggal itu bulan mempunyai daya tarik yang
besar bagi orang Tionghoa.
·
Kue Tiong Tjiu Pia dan “Kue Bulan”
Kue ini
bundar-gepeng menyerupai bentuk bulan. Ada yang besar, da nada yang kecil.
Terbuatnya daripada terigu. Didalamnya dipakailah isi. Isi ini di “Indonesia”,
karena isi itu ada yang terdiri atas dari durian, sari cempedak, sari manga.
Sari nanas dan sari buah-buahan lainnya.
·
Pesta untuk anak-anak
Bagi anak-anak
malam itu benar-benar malam pesta. Mereka bermain dengan lentera yang berbentuk
kelinci- seekor binatang poerlambang bulan 8 tanggal 15, naga atau
bentuk-bentuk lain, yang dipasangi lilin di dalamnya. Mereka beriang-gembira.
·
Tang Tje
Perayaan Tang Tje
juga sebuah pesta yang berkaitan erat dengan peredaan alam. Artinya nama “Tang
Tje” hanya sederhana. Tak lain dari: “musim Dingin Tiba”. Namanya sudah
menunjukkan jelas, pesta ini mempunyai hubungan dengan tibanya musim dingin.
Pesta Tang The di Indonesia disebut juga “Pesta Ondeh-Ondeh”.
·
Peran Musim pada bahasa Tionghoa
Dalam
kehidupan bangsa Tionghoa, yang merupakan bangsa yang hidup dari pertanian,
musim memegang suatu peran penting. Bahkan Dinasti Tjiu (1122 seb.M, -255
seb.M, lafal Kou-yu: Chou) mempunyai sebuah sistem pemerintahan, yang terdiri
atas sebuah kabinet dengan 6 kementria, yang diketuai oleh Menteri Langit,
Menteri Bumi, Menteri Musim Semi, Menteri Musim Panas, Menteri Musim Rontok,
dan Menteri Musim Dingin.
·
Kue Ondeh-Ondeh
Pada malaman hari
Tang The repotlah nyonya rumah dan sekalian anggota keluarga wanita membuat
ondeh-ondeh. Ondeh-ondeh dibuat dengan berbagai warna putih, merah, hijau,
kuning, dan sebagainya. Bentuknya bundar untuk melambangkan “bulatnya langit”.
·
Tang Tje permulaan seuatu malam tahun baru
Hari Tang The
dipandang sebagai permulaan suatu tahun baru yang baru. Pandangan ini mempunyai
suatu arti yang praktis bagis suatu keluarga, yang dalam suatu tahun takwim
akan mengawinkan dua orang anaknya. Menikahkan dua anak anak dalam satu tahun
yang sama menurut kepercayaan bangsa Tionghoa tidak baik. Tetapi kadang-kadang
orang tak dapat meluputkan diri dari kehruskan mengawinkan dua anak dalam satu
tahun almanac. Adapula hari kawin seorang anak perempuan umunya di tetapkan
oleh pihak calon suaminya.
13. Suka
Ria Tionghoa
Dalam etnis tionghoa, satu peristiwa yang menjadi alas an
orang untuk bersuka ria ialah kelahiran. Pada sebelum kelahiran itu terjadi,
beberapa pantangan harus ditaati. Bukan saja oleh sang calon ibu, melainkan
juga oleh ssang ayah. Satu antaranya adalah pantangan – pantangan yang tidak
boleh dilakukan, yaitu tidak berburu, membinasakan sesuatu binatang, Sebab-musabab
sejumlah orang tionghoa menginginkan anak laki-laki ialah peraturan pemujaan
leluhur, yang membutuhkan anak laki-laki untuk menyambut dan melanjutkan
kewajiban memelihara ‘abu leluhur’ kelak, dan lebih jauh ucapan kung tze, bahwa
antara tiga ‘tidak bakti’ tidak mempunyai anak lakilakilah yang terbesar.
Tradisi
orang tionghoa pada waktu anak lahir tidak ada perayaan apa-apa, tetapi untuk
pemberitahuan tantang kelahiran ini pada sanak keluarga dilakukan dengan
pengiriman telur-telur yang dimerahkan kulitnya. Pada perayaan pertama untuk
anak itu dilakukan pada waktu ia sudah cukup satu bulan dengan cara anak itu
digunting rambutnya untuk pertama kali. Perayaan itu disebut ‘maoa-gue’, yang
berartikan ‘genap sebulan’. Hari ulang tahun pertama anak itu tidak dilupakan,
pada hari itu sang anak dikenakan pakaian yang serba baru. Pada hari itu ada
sebuah tradisi orang tionghoa bisa mengetahui watak atau kecondangan anak itu
ketika sudah ia dewasa kelak. Anak itu didudukan di atas sebuah tetampa,
tetampan itu ibaratkan sebagai bumi dan langit, anak itu memulai hidup di dunia
ini dan di sekitarnya di taruh berbagai-bagai macam barang seperti pena,
kertas, mata uang, barang permainan dan lain-lain pula. Contohnya jika anak itu
mengambil pena maka anak itu dianggap setelah dewasa akan menjadi seorang
penulis.
Pada bangsa
tionghoa perayaan hari ulang tahun bukan suatu peralatan yang dirayakan sendiri
oleh orang yang berhari ulang tahun, melainkan oleh anak-anaknya yang merayakan
hari ulang tahun ayah atau ibunya. Tradisi ini disebut sebagai shejit(ulang
tahun), pesta hari ulang tahun biasa dirayakan pada umur ke-51, ke-61, ke-71,
ke-81 dan begitu seterusnya mengenai umur-umur yang mengandung angka 1 yang
biasa dipandang bersifat istimewa. Sebabnya bahwa waktu orang berusia genap 51
tahun orang itu mulai melangkahi ambang kesepuluhan k-6, sebagaimana pada waktu
berhari ulang tahun ke-61 orang memasuki kesepuluhan ke-7 dan seterusnya. Pesta
hari ulang tahun mempunyai hubungan pula dengan umur panjang, tidak
mengherankan, dalam ruang pesta hari ulang tahun tertampak sebuah huruf ‘Shou’
(=’panjang umur’). Hadiah khas untuk hari ulang tahun bangsa tionghoa ialah
berberapa lempeng mishoa dan gula batu. Mishoa adalah sebuah barang yang
terbuat dari tepung beras dalam bentuk benang yang panjang yang melambangankan
doa supaya berumur panjang bagi yang berhari ulang tahun. Gula batu dihadiakan
sebagai suatu bahan yang dapat digunakan untuk menghidangkan mishoa itu. Orang
tionghoa mempunyai sebuah sandiwara khas untuk pemberian selamat hari ulang
tahun :’Kue Tju Gi pai Siu’ (‘Kue Tju Gi Menghaturkan Selamat Panjang Umur’).
Kue tju Gi seoarang pahlawan penopang negeri pada zaman kerajaan Tong yang
menghaturkan selamat panjang umur kepada kaisar, ini dianggap sebagai sebuah
adegan yang sesuai untuk menghaturkan selamat berhari ulang tahun.
Selain kelahiran, suka ria terbesar orang tionghoa adalah
perhelatan pernikahan. Bahkan bangsa tionghoa menganggap seseorang baru sudah
menjadi dewasa dan menjadi ‘orang’ pada saat ia menikah, sebelumnya itu ia
masih dianggap anak-anak. Dalam pernikahan orang tionghoa ada peraturan yang
dinamakan Enam Upacara, yaitu : (1) ajukan usul resmi, (2) menanyakan nama si
gadis, (3) pertunangan resmi, (4) menanyakan hari nikah, (5) mempersembahkan
hadiah yang terdiri atas batu permata, pakaian, dan lain-lain pula, dan (6)
pengatin laki-laki mengunjungi rumah mempelai perempuan dan membawanya pulang.
Keenam upacra ini harus di lakukan oleh pihak laki-laki.
Dalam pernikahan orang tionghoa pakaian mempelai laki-laki
ialah jubbah biru dengan kopiah cetok sebagaimana yang dipakai pembesar menchu.
Pakaian mempelai perempuan berwarna merah umum, rambutnya dihiasi ‘kembang
goyang’ emas, yang walaupun kecil tetapi besar jumlahnya.pakaian mempelai
laki-laki membayangkan dengan jelas, bahwa orang tionghoa ingin menjadi pegawi
tinggi kelak, sedangkan pakaian mempelai perempuan bukan sesuatu yang enak
dikenakan. Bukan saja amat panas dipakainya, melainkan juga sekian banyak
‘kembang goyang’ itu tidak dapat dikatakan ringan. Sebelum pernikahan dimulai
kedua mempelai harus bangun pagi-pagi biasanya pukul 5 pagi sudah terdengar
suara terompet, yang menyatakan bahwa upacara ‘cio-tao’ sudah dimulai.
‘Cio-tao’ ini suatu peristiwa yang besar artinya bagi orang yang mempercayanya
dan kaya dengan simbolik pula. Orang hanya dapat ber’co-tao’ sekali saja,
seoarang janda yang menikah lagi, tidak ber’cio-tao’ lagi, ini tidak
diperbolehkan.
14.
Duka Cita Tionghoa
Dalam bangsa orang tionghoa jika ada sanak keluarga yang jatuh sakit kelihatan bertambah berat dan obat tabib Nampak tidak memberikan hasil, berusahalah keluarga itu memcari pertolongan lain selain bantuan tabib seperti mereka pergi ke oaring-orang yang disangkanya mempunyai ilmu kesaktian dan pada waktu senja ia akan meletakkan sesajian dideapn rumahnya seraya membakar batangt rupa dan sepasang lilin merah kecil. Ada juga yang menaruh sesajian demikian di atas sebuah ‘perahu’ yang terbuat dari daun pisang yang dihanyutkan di sungai. Kerena menganggap, jikalau seorang sakit sebagian arwahnya telah meninggalkan badan jasmaninya.
Kedukaan terbesar yang dapat menimpa
suatu orang ialah kematian, bangsa tionghoa jika ada sanak keluarganya
meninggal dunia maka keluarga harus memberi hadiah yang bagus yaitu, petik mati
yang terbuat dari kayu bagus dan baju mati yang bagus yang sudah disiapkan. Satu
antara hal-hal yang dilakukan pertama-tama dalam soal kematian, ialah membeli
sebuah alat tempat penancap batang dupa yang dinamakan ‘hio-lou’ (perapian
pembakaran dupa) yang diletakan di atas meja, juga di letakan sepasang pelita,
dibakarnya ‘kertas perak’, pada pintu dan jendela dipasang diagonal dua helai
kertas putih panjang kecil. Dan semua anggota keluarga mengenakan pakaian yang
terbuat daripada kain belacu putih, ada juga yang menggantikan bahan pakaian
itu dengan karung goni. Pada sesudahnya jenazah dimasukan ke dalam peti
jenazah, yang umumnya dilakukan pada waktu mangrib, diadakan sembahyang.
Pada hari permakaman dilakukan
sembahyang di anataranya disajikan terdapat juga sebuah semangka, setelah
sembahyang selesai dan peti jeanzah sudah dimasukan ke dalam kereta layon atau
sudah siap digotog, sebuah semngka itu dibanting sehingga hancur, buah semngka
itu dibekalkan orang yang sudah wafat untuk dibawa ke akhirat dan
dipersembahkan kepada Giam Lo Ong, Raja Akhirat. Setalah melampaui suatu jarak
tertentu, anak-anak oarng yang wafat berlutu ditepi jalan raya dan menghaturkan
terima kasih kepada semua orang yang telah menyatakan cintanya dengan
menunjukan hormat terakhir kepada mendingan orangtuanya. Di atas makam
dilakuakn sembahyang sebelum peti jenazah diturunkan ke dalam liang kubur.
Sesudahnya menunjukkan hormat mereka pada yang wafat dengan membakar batangan
dupa, sahabat-sahabat pulanglah. Sanak keluarga menunggui sembahyang selsai dan
liang kubur sudah diuruk.
15.
Shio, 12 Jenis Binatang Perhitungan Tahun
Sejak zaman purba bangsa tionghoa menghitung jarak waktu
dengan kesatuan yang terdiri atas 60 tahun. Tiap kesatuan itu terjadi dari 5
kali 12 tahun. Kedua belas tahun ini dilambangkan masing-masing dengan seekor
binatang, yang disebutkan ‘Dua Belas Cabang Bumi’ itu: Tikus, Kerbau, Harimau,
Kelinci, Naga, Ular, Kuda, Kambing, Kera, Ayam, Anjing, dan Babi. Kedua belas
ekor binatang ini dinamakan ‘Cap Ji Shio’ (Dua Belas Shio)
Pergantian tahun pergantian ‘shio’, tahun baru imlek pada
tahun 1958, mislanya berartikan bahwa tahun ayam telah tiba akhirnya dan
digantikan tahun anjing. Orang tionghoa masih ada yang memberitahukan umurnya
dengan menyebutkan ‘shio’nya. Sebuah contoh: Pada tahun 1958 mulai dari tahun
baru imlek sehingga akhir tahun masehi itu seorang dengan ‘shio’ anjing berumur
1 tahun, (1+12=) 13 tahun, (13+12=) 25 tahun, (25+12=) 37 tahun, 49 tahun, 61
tahun, 73 tahun, atau 85 tahun ataupun 97 tahun. Dan dalam urutan ‘shio’ maka
‘shio’ tikus yang paling depan dan ‘shio’ babi paling belakang.
16. Sastra
Tiongkok
·
kurun ketiga
Bahkan kurun kedua
orang Tionghoa yang menetap di Indonesia, sudah tidak dapat berbicara bahasa
Tionghoa. Membaca dan menulis huruf Tionghoa-pun sudah menjadi sesuatu yang
asing bagi mereka. Bahasa pergaulan mereka adalah bahasa Indonesia atau bahasa
setempat.
Karena tidak dapat
membaca lagi huruf Tionghoa, mereka-pun jadi tak dapat menikmati
cerita-cerita Tionghoa. Tetapi perhatian bagi cerita-cerita Tiongkok tetap ada.
Perhatian itu mungkin telah timbul karena mendengar orangtua mereka, atau orang
lain, mengisahkan riwayat Tiongkok.
·
Peran wayang Tiongkok
Dalam hal menyiarkan
cerita rakyat Tiongkok, sesungguhnya tidak dapat diabadikan. Dr. Lin Yu-Tang
telah menyatakan dalam ‘My Country and My People’, bahwa pendidikan semasa
kecilnya tidak mengenal tokoh-tokoh cerita rakyat. Beliau mendengar
cerita-cerita tesebut hanya dari pengasuhnya yang adalah seorang penggemar
pertunjukan wayang.
·
“Tukang cerita”
Pada zaman itu,
mereka biasa duduk di atas sebuah bangku di tepi jalan raya dan menceritakan
kisah-kisah Tiongkok. Orang-orang yang lewat dapat menghampiri dan duduk mendengarkan.
Tentu saja bahasa yang digunakan adalah bahasa Tionghoa. Jika ada yang tidak
mengerti, tentu ada seorang pendengar yang dapat menerjemahkannya.
·
Sastra Tiongkok dalam bahasa Melayu-Rendah
Orang mulai
menerjemahkan hasil sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu-Rendah. Bahasa yang
dipergunakan untuk menerjemahkan sastra tersebut tidak dapat dikatakan bagus,
bahkan yang dipakai dalam beberapa buku benar-benar harus dikatakan sangat
buruk.
·
Menerjemahkan dengan ‘kerja sama’
‘Hai Sui’ misalnya,
terdiri atas 5 jilid, diterjemahkan dengan cara kedua jilid terakhirnya hanya
terdapat sebuah titik pada halaman penghabisan jilid kelima.
Meneliti beberapa
terjemahan cerita Tiongkok, saya tak dapat melepaskan diri dari kesan, itu buah
hasil orang yang sebenarnya tidak mengerti bahas Tionghoa. Dan orang ini telah
meminta tolong kepada orang Tionghoa lain yang tidak dapat menulis bahasa
Melayu-Rendah lalu menuliskan cerita yang dituturkan kepadanya secara lisan.
·
Kemungkinan pelajaran memperbaiki terjemahan
Setelah kemungkinan
pelajaran bertambah bagi orang Tionghoa, perlahan terjemahan cerita-cerita
Tionghoa menunjukan perkembangan ke arah lebih baik.
Pada bahasa
terjemahan itu tercermin pengaruh bahasa Belanda atau bahasa Inggris. Orang yang
telah duduk di bangku sekolah Belanda memang tidak dapat menerjemahkan hasil
sastra Tiongkok, tetapi terjemahan orang yang tidak mengerti bahasa Belanda
banyak yang diperbaiki oleh seorang yang pernah belajar dalam sekolah Belanda
atau sekolah Inggris.
·
Dalam bahasa Indonesia
Cerita Tiongkok ini
ada yang diterjemakan ke dalam bahasa Jawa dengan irama tembang. Ini terjadi di
wilayah Solo dan Jogja. Tentu saja ini milik perseorangan. Beberapa cerita
Tiongkok dalam bahasa Jawa itu telah dibeli oleh China Institute di
Jakarta.
Di Makasar, banyak
hasil sastra Tiongkok di terjemahkan ke dalam bahasa Makasar. Buku ini dapat
disewa yang sudah ada penterjemahannya dan dewasa ini pada ahli warisnya. Yang
sudah diterjemahkan terdapat juga ‘Sam Kok’ dan ‘Si Djin Kui’.
Di Bali, ‘San Pek
Eng Tai’ amat disukai rakyat, sehingga di pulau ini cerita ini telah memasuki
gelanggang sandiwara rakyat.
Di Sumatera, cerita
Tiongkok terbit di Padang. Tidak banyak, hanya beberapa buah. Antaranya ‘Ui Bu
Hou’.
Pengaruh bahasa
setempat tidak terelakkan dalam penterjemahan hasil sastra Tiongkok ini.
·
Babakan kedua penerjemahan cerita-cerita Tiongkok
Dalam bahasa
terjemahan-terjemahan itu nampak jelas suatu perkembangan. Bahasanya bukan lagi
bahasa Melayu-Rendah, melainkan apa yang dinamakan bahasa Indonesia-Tionghoa.
·
Sesudah Perang Pasifik
Pada sesudah Perang
Pasifik, kecuali cerita-cerita silat, tidak banyak terbit cerita-cerita
Tiongkok pula.
Walaupun
riwayat-riwayat yang dimuat sebagai cerita bersambung dalam harian-harian oleh
warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa, umumnya cerita Kiam Hiap,
sebagaimana cerita silat itu dinamakan, ada juga satu dua cerita rakyat lain
yang mengisi ruang cerita bersambung harian. Misalnya, ‘Beng Le Kun’, ‘Ban Hoa
Lao’, dan ‘Hui liong Toan’.
·
Cerita-cerita silat
Daya penarik cerita
Kiam Hiap besar sekali. Bukan saja bagi orang Tionghoa-Peranakan dan warga
Negara Indonesia keturunan Tionghoa, melainkan juga warga Negara
Indonesia asli.
Saya mendapat kenyataan
ini dalam pembicaraan dengan beberapa sahabat WNI asli.
·
Hanya ‘omongan kecil’!
Jika orang membaca
buku cerita, menurut tafsiran Tionghoa dahulu, orang bukan menikmati sebuah
hasil sastra, meski bagaimanapun tinggi nilainya, melainkan orang yang sedang
menghamburkan waktunya dengan meladeni ‘omongan kecil’ saja, yang dalam bahasa
Tionghoa disebut ‘siao soat’.
Yang benar-benar
sastra dalam Tionghoa dari abad ke abad hingga abad ke-20 hanya kitab-kitab
filsafat, sejarah, sajak, dan sebagainya yang termasuk berat.
·
Sajak
Sajak dianggap
sebagai suatu unsur sastra. Sajak Tiongkok tiap baris terdiri atas 5 atau 7
buah kata-kata yang sangat ringkas, sajak ‘Bok Lan’ salah satunya.
Di Indonesia, orang
mengenal Hoa Bok Lan sebagai seorang gadis baik hati yang telah berbakti kepada
orang tuanya karena telah bersedia menggantikan ayahnya yang telah lanjut usia
dalam sebuah peperangan. Cerita ‘Hoa Bok Lan Siotjia’ sudah dapat dibaca dalam
bahasa Melayu-Tiongkok.
·
Kisah pendiri-pendiri Kerajaan
Kisah pembangunan
hampir semua kerajaan Tiongkok yang besar-besar sudah diterjemahkan.
Pembangunan
kerajaan Tjiu (1122 SM – 249 SM) oleh Tjiu Bu Ong dapat diikuti dalam ‘Hong
Sin’ (‘Feng Shen’ – ‘Penganugerahan Malaikat’).
Bangkitnya kerajaan
Sui (589 - 681) dapat dibaca dalam ‘ Wa Kang’ (nama sebuah kota) atau ‘Tjap Phe
Lo Hoan Ong’ (‘Delapan belas Raja Pemberonak). Pendirian kerajaan Tong
(618 - 906) yang menggantikan ahala Sui, juga diuraikan dalam buku-buku ini.
Zaman kacau Lima
Dinasti (906 – 960) dapat ditinjau dengan mengikuti ‘Tjan Tong Ngo Tai’ (Kisah
Sisa Tong dan Kisah Lima Dinasti).
Lahirnya kerajaan
Song (960 – 1127) menjadi intisari ‘Hui Liang Toan’ (‘Riwayat Naga Terbang’).
Gerakan Tai Peng
(1851 – 1864), gerakan petani untuk mengusir penjajah Boantjiu dari singgasana
Tiongkok, juga dapat ditinjau dalam bahasa Indonesia-Tionghoa, karena ‘Ang Siu
Tjoan’ (nama pemimpin gerakan itu) sudah diterjemahkan.
·
Cerita-cerita dongeng
Berpaling ke cerita
dongeng, kita dapat menyaksikan, bahwa semua dongeng Tiongkok yang terbesar
sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia-Tionghoa.
Dongeng Tiongkok
terbesar ialah ‘Se Ju’ (‘Perjalanan ke Barat’) dan ‘Hong Sin’. Cerita ‘Tang Ju’
(‘Perjalanan ke Timur’) yang juga disebut ‘Pat Sian Kue Hai’ (‘Delapan Dewa
Menyeberangi Samudera’), ‘Lam Ju’ (‘Perjalanan ke Selatan’) dan ‘Pak Ju’
(‘Perjalanan ke Utara’) juga sudah tidak asing lagi di Indonesia.
·
Pendekar-pendekar kesayangan rakyat
Si Djin Kui seorang
pahlawan Tiongkok yang dikenal oleh seantero lapisan rakyat. Kisahnya dapat
dinikmati dalam ‘Si Djin Kui Tjeng Tang’ (‘Si Djin Kui Berperang ke Timur’) dan
‘Si Djin Kui Tjeng SeTang’ (Si Djin Kui Berperang ke Barat). Nasib anak dan
cucunya Si Djin Kui dapat dibaca dalam ‘Hong Kiao – Li Tan’.
·
Beberapa novel
Novel idealis ‘Keng
Hoa Jan’ (‘Perjodohan Bunga Dalam Cermin’), yang menggugat hak-hak yang sama
seperti pria bagi wanita, juga sudah diterjemahkan.
Kisah seorang anak
dara cantik dan pandai, Beng Le Kun, sudah dapat di baca dalam bahasa
Indonesia-Tionghoa. Nama novel itu ‘Beng Le Jun’.
·
Ciptaan besar ‘Shui Hu Chuan’
Satu antara hasil
sastra besar Tiongkok ialah ‘Shui Hu Chuan’ (‘Tepi Air’). Pada sebelum Perang
Dunia II, buku ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia-Tionghoa dengan
nama ‘Song Kang’.
·
Kumpulan-kumpulan cerpen
Sastra Tiongkok
mempunyai dua kumpulan cerita pendek yang kenamaan. Kedua kumpulan itu ‘Liao
Tjai’ dan ‘Kim Kao Ki Koan’. Dalam bahasa Melayu-Tionghoa keduanya sudah
diterjemahkan dengan cara yang sangat tidak sempurna. Terjemahan ‘Liao Tjai’,
yang terdiri dari 7 jilid ukuran saku dengan masing-masing 80 halaman, hanya
memuat sebagian saja. Sedangkan terjemahan ‘Kim Kou Ki Koan’ berbentuk sejilid
buku tipis.
Sandiwara
Cerita-cerita sandiwara
Tiongkok juga mendapat perhatian orang Tionghoa di Indonesia.
‘Se Siang Ki’
(‘Catatan Rumah sisir Barat’) dan ‘Pi Pa Chi’(‘Catatan Sebuah Kecapi’) sudah
dapat dibaca dalam bahasa Indonesia-Tionghoa dalam bentuk prosa.
Sandiwara ‘Ular
Putih’ juga sudah diterjemahkan dan dinamakan ‘Ou Phe Tjoa’ (‘Ular Hitam dan
Ular Putih’).
·
Karya sastra modern Tiongkok
Agak aneh, cerita
modern Tiongkok yang dirangkai sesudahnya tahun 1911, tahun bangsa Tionghoa
mendapatkan kembali kedaulatannya, dengan tema soal kehidupan dan penghidupan,
belum ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia-Tionghoa.
Cerita modern yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa bahasa Indonesia, yakni ‘Mawar dan Hutan’,
rangkaian Chen Chuen, seorang penulis modern. Karya ini sendiri terdiri atas 4
babak. Terjemahannya diterbitkan oleh Balai Pustaka tahun 1950.
17. Kebudayaan Tiongkok dalam Sastra Indonesia-Tionghoa
Apakah itu : Sastra
Indonesia-Tionghoa ?
Dalam sejarah
sastra Indonesia sampai sebegitu jauh memang belum pernah terdengar nama
‘Sastra Indonesia-Tionghoa’. Namun sebagian sastrawan Indonesia mengetahui ada
banyak ciptaan-ciptaan yang bersama-sama merupakan ‘sastra Indonesia-Tionghoa’
itu.
·
Sastra Indonesia-Tionghoa
Dapat dikatakan
lahirnya sastra ini sampai pada suatu batas berkaitan dengan penerjemahan hasil
sastra Tiongkok ke dalam bahasa Melayu-Rendah. Penerjemahan ini dimulai pada
akhir abad ke-19.
Yang menyirami
benih sehingga bertunas segar pada tahun kesepuluh abad ke-20 antara lain :
1) Minat untuk
merangkai cerita Indonesia-Tionghoa yang bermain di bumi Indonesia dengan
tokoh-tokoh yang tidak asing bagi orang di Indonesia.
2) Hasrat untuk
membaca cerita Indonesia-Tionghoa yang familiar bagi orang di Indonesia.
3) Kesanggupan menulis
lebih rapi dalam bahasa Indonesia-Tionghoa.
4) Kesempatan untuk
mencetak buah pikiran mereka, yang diberikan oleh majalah dan harian
Melayu-Tionghoa.
Perusahaan
percetakan Tionghoa-Peranakan yang juga menerbitkan buku-buku.
Syarat-syarat untuk
lahirnya kesastraan Indonesia-Tionghoa dengan begitu terpenuhilah sudah. Maka
terbitlah cerita Indonesia-Tionghoa yang pertama.
·
Buah-buah pertama sastra Indonesia-Tionghoa
Buah-buah permulaan
sastra Indonesia-Tionghoa kebanyakan berdasarkan kejadian nyata. Dengan
berjalannya sang waktu, bertambah baik pula persoalan dan intisari buah kalam
Tionghoa-Peranakan.
Perkembangan sastra
Indonesia-Tionghoa berjalan sejajar degan perkembangan penerjemahan bunga-bunga
sastra Tiongkok. Sampai pada penyerbuan tentara Jepang ke Indonesia pada awal
tahun 1942, perkembangan kedua-duanya terhenti.
Dan pada 17 Agustus
1945 berakhirlah sejarah sastra Indonesia-Tionghoa diakibatkan banyak dari
pengarang-pengarang ini menjadi WNI.
·
Di rangkai di Indonesia, bermain di Tiongkok
Bab-bab cerita Tiongkok,
dengan mengecualikan karya modern, selalu berisikan dua buah peristiwa.
Kedua buah peristiwa ini dimaklumkan dalam kepala bab itu dengan dua buah
kalimat, yang disusun simetris satu dengan lain terpandang dari sudut intisari
dan tata bahasa. Hal demikian tak nampak dalam hasil sastra Indonesia-Tionghoa.
·
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Mengenai
kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Esa di antara orang Tionghoa kita mendapatkan
suatu lukisan yang menawan hati dalam ‘Binasa Lantaran Harta’, karangan Hauw
San Liang, yang terbit di Jakarta pada tahun kesepuluh abad ke-20.
18. Simetrika
dalam kehidupan Tionghoa
DI BAGIAN atas
jendela di sebelah kanan dan kiri rumah Tionghoa seringkali mata kita melihat
dua buah huruf Tionghoa besar yang dilukiskan ditengah-tengah motif
bunga-bunga.
Di bagian atas
jendela yang satu kedua buah huruf ‘siu’ dan ‘san’, dan di bagian atas
jendela lain huruf ‘hok dan ‘hai’.
‘Siu San’ berarti
‘Gunung Panjang Umur’, sedangkan ‘Hoak Hai’ adalah ‘Laut dan Rejeki’.
·
Berpasangan
Beberapa hal
menarik perhatian dengan lantas berhubung dengan penulisan kedua pasang
huruf-huruf itu.
Pertama, kedua
pasang huruf itu berfungsi sebagai semacam perhiasan kaligrafis akan rumah itu.
Kedua, kita dapat
melihat bahwa keseluruhan sepasang huruf di sebelah kanan simetris dengan
keseluruhan sepasang huruf itu dituliskan atau diukirkan bersamaan tinggi dan
bersamaan besar satu dengan lain.
·
‘Pien Wen’
Hal ini telah lahir
dari apa yang ada dalam kesastraan Tiongkok disebut ‘Pien Wen’. Kisah Kang-Hu
menerangkan mengenai hal ini dalam ‘Chinese Civilization’ (Shanghai, 1935, hal.
446-447).
·
Panji, ‘lian’
Untuk menghaturkan
selamat kepada seorang sahabat yang berulang tahun, banyak orang Tionghoa
menyumbang sepasang panji ‘lian’. Sepasang panji ini digantung memanjang
kebawah.
Dalam bentuknya,
sepasang lian sudah merupakan simetrika, karena terdiri atas dua helai kain,
atau sutera, yang berukuran sama.
Tiap panji itu
bertuliskan sebuah kalimat. Kalimat di atas kedua lian itu berisikan pujian
bagi orang yang berhari ulang tahun.
Kalimat itu disusun
dengan simetris tertinjau dari sudut tata bahasa dan simetris pula semangatnya.
·
Bab-bab novel simetris
Bab-bab dalam
cerita-cerita klasik Tiongkok umumnya didahului dengan simetrika pula. Tiap
kepala bab itu berisikan dua soal yang menjadi isi bab itu. Kedua soal ini
disebutkan dalam dua kalimat yang serius,
Dengan demikian
daftar isi sebuah hasil sastra Tiongkok terdiri atas pasangan kalimat-kalimat
simetris. Membaca itu bukan saja memuaskan perasaan ingin tahu kita, melainkan
juga memberikan kita kenikmatan, karena kita seolah-olah membaca sajak.
19.
SIMBOLIK TIONGHOA
Simbolik merupakan
suatu pernyataan yang menggunakan kiasan bukan kata-kata yang tegas. Misalkan,
di Indonesia, pohon beringin digunakan sebagai lambang keteguhan. Tak hanya di
indonesia, bangsa barat pun mempunyai simbolik, begitu juga dengan bangsa
Tionghoa.
·
Lambang umur panjang: burung bangau dan buah pir
Burung bangau
berumur panjang hingga ratusan tahun, maka dari itu dijadikan lambang panjang
umur oleh orang Tionghoa. Menurut dongeng, buah pir selalu disajikan saat
perjamuan ulang tahun dewi Hsi Hwang Mu, dan mereka percaya buah pir dapat
memberikan khadiat panjang umur kepada siapa saja yang memakannya.
·
Pohon bambu, lambang keuletan
Pohon bambu adalah
pohon yang sangat kuat, mampu menahan salju dan es musim dingin. Oleh dari itu
pohon bambu melambangkan keteguhan jasmani dan rohani bagi orang Tionghoa.
·
Naga
Naga (liong) adalah
binatang mistik yang mana di Tiongkok dipandang baik karena dianggap sebagai
pemberi hujan. Sebagai lambang, liong disediakan hanya untuk kaisar dan
berfungsi bagi segala apa yang bertalian dwngan kaisar. Karena itu dalam pesta
Tahun Baru Imlek dan Tjapgomeh tampak juga liong.
·
Kelelawar lambang bahagia
Barang-barang seni
Tiongkok sering kali terlukis binatang kelelawar, alasannya karena perrwujudan
melalui persamaan suara. Kata Tionghoa untuk 'bahagia' adalah 'fu' dan 'fu'
juga berartikan ''kelelawar
·
Pelanduk, kemajuan kepangkatan
Pelanduk ditemukan
dalam berbagai hasil seni Tiongkok, melambangkan sukses dalam kepangkatan.
Memangku suatu jabatan negeri yang tinggi memang idaman orang Tionghoa pada
zaman pendidikan rakyat hanya bersifat kesastraan. 'Kemajuan kepangkatan' dalam
bahasa Tionghoa ialah 'lü' sama dengan 'pelanduk' dinamakan 'lü'
·
Ikan
'Ikan' dalam bahasa
Tionghoa ialah 'yü', sebuah kata 'yü' lain berartikan 'berlebih-lebihan'.
Karena itu do'a supaya bahagia orang berlebih-lebihan dilukiskan dengan gambar
ikan.
·
Sutra tipis lebih disukai
Ada dua macam
sutra, yang tebal dan berkembang bagus dinamakan 'tuan-tze' dan yang tipis
dinamakan 'chow-tze'. Tetapi sebuah kata lain 'tuan' berartikan 'memotong' atau
'mematahkan' dan 'tze' berarti 'anak'. Atas dasar ini sutra 'tuan-tze' tidak
baik untuk keselamatan anak-anak yang mengenakannya dan tidak dipergunakan
untuk bahan pakaian bagi orang tua yang akan melepaskan nafas oenghabisannya.
Sedangkan kata lain 'chow berartikan 'banyak', 'penuh' dan 'tebal', sehingga
memakai sutra tersebut seakan-akan mendoakan supaya memperoleh banyak anak.
·
Lambang berbentuk perbuatan
Simbol dapat juga
berbentuk perbuatan. Contohnya, dalam pernikahan, orang menyilakan kedua
pengantin makan jantung babi berduaan, karena mereka memiliki 'jantung yang
sama'. Dan 'janting yang sama ini ialah huruf 'harmoni'. Inilah doa yang
diterjemahkan ke dalam perbuatan. Lambang cinta kasih suami istri ialah dua
ekor itik mandarin dengan bunga teratai
·
'Pohon Cinta Kasih'
Pada zaman dinasti
Chou, seorang menteri bernama Han Peng hidup dengan istri cantiknya.Raja Sung
menginginkan istri Han Peng, Raja Sung melempar Han Peng ke penjara, sampai Han
Peng meninggal di penjara. Suatu malam raja Sung mengajak wanita itu berjalan
jalan di teras tinggi, namun wanita itu terjun ke bawah dan mati. Di badannya
terdapat surat, yang isinya minta supaya jenazahnya dimakamkan dalam satu liang
kubur. Tapi raja Sung memakamkan mereka di liah bersebelahan, yang kemudian
tumbuh pohon yang mengarah satu sama lain dan dahannya rangkul-merangkul.
·
Sepasang kupu-kupu, cinta kekal
Berdasar cerita
gadis bernama Eng Tai yang mencintai pemuda bernama San Pek.Tetapi Eng Tai
dipaksa menikah dengan Ma Tjun. Karena gagal menikahi Eng Tai, San Pek
meninggal. Eng Tai minta supaya ia diperbolehkan singgah di makan San Pek untuk
sembahyang fan meminta supaya kuburan itu terbuka. Permintaannya terkabul. Eng
Tai melompat ke makam, lalu lubang itu tertutup lagi setelahnya. Ma Tjun marah
dan memerintahkan membongkar makam it lalu terbang keluar sepasang kupu-kupu
dari lubang itu. Orang mengatakan kupu-kupu itu titisan arwah Eng Tai dan San
Pek. Dari situlah sepasang kupu-kupu menjadi lambang cinta kasih yang kekal.
·
Buah atap dan agar-agar
Buah atap
bersajakkan dengan 'hati tetap'. Dengan menyilakan tamu makan buah atap berarti
mendoakan agar orang tersebut berhati tetap. Agar-agar mempunyai ciri terang,
orang yang makan agar-agar didoakan supaya hati menjadi terang dan menjadi
orang pandai.
20.
KEHIDUPAN KESENIAN ORANG
TIONGHOA
Orang Tionghoa
datang ke Indonesia dengan membawa juga kepercayaan mereka, Budhistis maupun
Taotis. Hampir di semua tempat yang mempunyai penduduk Tionghoa, terdapat kuil
Tionghoa.
·
Seni bangunan
Gaya kuil Tionghoa
yaitu kedua wuwungannya melengkung nai dengan lancip permai dan dua ekor liong
dengan sebutir mutiara ditengah-tengahnya. Di kanan dan kiri pintu depan
terdapat dua buah jendela bundar yang penuh dengan ukiran binata kilin.
·
Seni pahat
Umumnya rumah model
Tionghoa ini kaya akan ukiran-ukiran kayu seperti pada pintu, jendela, tiang,
wuwungan dan banyak bagian rumah lainnya. Dalam rumah Tionghoa hasil seni pahat
berbentuk meja, kursi, dipan, lemari, ranjang, dan lain-lain. Perabotan rumah
tangga ini dibuat diIndonesia oleh tukang-tukang Tionghoa.
·
Kepandaian keramik
Cangkir teh
porselin Tiongkok tak jarang berlukiskan manusia, burung atau bunga. Orang
Tionghoa minum teh menggunakan cawan teh yang bagus untuk mempertinggi cita
rasa teh iu. Seni keramik Tiongkok dikagumi bangsa inggris, dalam bahasa
inggris disebut sebagai 'china wares'.
·
Sumbangsih pelukis-pelukis
Seringkali orang
mendapatkan huruf-huruf Tionghoa pada lambung cangkir teh. Selain itu, hasil
seni lukis juga banyak terlihat. Bagi masyarakat umum lukisan-lukisan Tiongkok
tidaklah asing pula: pohon bambu, ikan koki, bunga seruni, pemandangan alam
dengan gunung dan air. Sering kali terdapat juga deni kaligrafi
·
Seni lukis tradisional dan 'applied art'
Applied art yakni
gambar reklame. Menjelang Tahun Baru Imlek banyak orang direklamekan dengan
lukisan tradisional Tiongkok.
·
Karya sulaman
Sulaman ini dapat
berbentuk pigura indah, tirai pintu dan juga kain penutup bagian depan 'meja
abu'. Biasanya terisikan penuh sulaman binatang kilin, burung phoenix, bunga
seruni, dan lain-lain.
·
Musik
Di Indonesia alat
musik Tiongkok yang dikenal umumnya yaitu genderang, canang dan cecer. Alat
musik tersebut biasanya mengiringi tari batongsai. Balapan perahu Pehtjun
berlangsung seakan-akan dibawah komando genderang dan gembreng.
·
Seni suara
Ada perkumpulan
Tiongkok yang bertujuan untuk melatih dan mengembangkan seni suara, bukan hanya
nyanyian tradisional tetapi juga nyanyian modern
·
Gambang keromong
Musik gambang
kromong terdiri dari gambang, gamelan, seruling dan beberapa macam alat musik
Tiongkok. Lagu-lagu yang diperdengarkan antarai lain Jali-jali dan Balo-balo
(khas Jakarta) dan juga Sip Pat Mo (lagu Tiongkok)
·
Wayang cokek
Anak wayang cokek
mengenakan baju kurung panjang dan celana. Dulu wayang cokek dipanggil untuk
meramaikan acara pernikahan atau ulang tahun. Pada Tahun Baru Imlek permulaan
abad ke-20, musik gambang kromong dan wayang cokek mengelilingi kampung
Tionghoa untuk bermain dihadapan rumah orang Tionghoa yang suka menerimanya
dengan memberikannya ang-pao.
Author by Gocap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar