Sentimen negatif dan curiga
berlebihan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia hingga kini masih kerap
terdengar. Kerusuhan massa di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 silam yang
diwarnai dengan pembakaran toko-toko dan rumah milik warga Tionghoa membuktikan
bahwa sentimen kepada etnis itu masih ada, Sentimen dan pandangan buruk terhadap etnis Tionghoa
di Indonesia merupakan pandangan yang diciptakan oleh penjajah VOC Belanda.
Menurut Daradjadi
Gondodiprodjo, yang untuk merekonstruksi ephos aliansi
laskar Tionghoa dan Jawa (Mataram) banyak memakai Kitab Babad dalam bahasa Jawa
itu, Perang Sepanjang berkobar sebagai kelanjutan dari pemberontakan
orang-orang Tionghoa terhadap kebijakan
rasialisme yang dilakukan Gubernur VOC di Batavia pada Oktober 1740.
Saat itu sekitar 10.000 orang Tionghoa dibantai oleh VOC,
sebuah persekutuan para pedagang rempah-rempah Belanda. Alasan Kompeni
membantai orang-orang Tionghoa karena mereka dianggap membangkang,
menolak membayar permissie brief (izin tinggal) yang mencekik dan sarat
permainan korup itu. Berbagai pungutan dilakukan Gubernur Jenderal VOC untuk
mengisi kas VOC yang kesulitan keuangan karena turunnya harga rempah-rempah dan
menghadapi persaingan dari perusahaan dagang
Inggris.
Para imigran Tionghoa di Batavia, baik yang legal maupun
ilegal, menjadi sasaran pemerasan. VOC melakukan serangkaian razia dan
menangkapi serta memenjarakan orang-orang Tionghoa yang tertangkap. Hal ini
menimbulkan keresahan dan perlawanan sejumlah orang
Tionghoa. Segerombolan orang Tionghoa di bawah pimpinan Kapitan
Sepanjang, melakukan perlawanan terhadap VOC. Dari sebuah pabrik gula,
perlawanan itu bergerak menuju ke Tanah Abang dan melakukan serangan ke pos-pos
VOC. Namun karena hanya bersenjata seadanya, pasukan orang-orang Tionghoa itu
dapat dihalau serdadu VOC hingga lari ke arah Bekasi dan Kerawang. Karena terus
dikejar pasukan kompeni, pada paruh pertama 1741, pasukan pasukan Sepanjang
akhirnya memasuki wilayah Kerajaan Mataram yang
beribukota di Kartasura.
Kerajaan Mataram saat itu wilayahnya meliputi Jawa bagian
Tengah dan Timur, Rajanya waktu itu Paku Buwono II. Raja beserta rakyat Mataram
menyambut baik kedatangan pasukan Sepanjang ini. Pasukan pejuang Tionghoa yang
dipimpin Kapitan Sepanjang itu pun bersatu dengan pasukan Mataram dan berhasil
melepaskan diri dari VOC. Namun, posisi berubah saat pasukan VOC berhasil
memukul mundur pasukan gabungan itu dan berhasil menekan Pakubuwono II
dengan memberikan pilihan untuk bergabung dengan serikat dagang tersebut atau
kekuasaannya dicabut. Pakubuwono memilih
bergabung dengan VOC.
Babakan selanjutnya para pejuang Tionghoa-Jawa kemudian
berhasil menurunkan Keraton Pakubuwono II dan mengangkat Mas Gerandi atau
Sunan Kuning (Sunan Amangkurat V) sebagai raja mereka. Dengan dibawah pimpinan Sunan Kuning, pada 30 juni 1742 menyerang dan
berhasil merebut Keraton Kartosuroh.
Sementara Sunan Kuning dan laskar Tionghoa Jawa melanjutkan
perang dengan VOC dan Pakubuwono ke dua, karna terpisah dengan Pasukan
Sepanjang, Sunan Kuning mendatangi VOC untuk berunding tetapi kompeni menangkap
Sunan Kuning dan mengeksekusi pengawalnya yang beretnis Tionghoa. Sunan Kuning
kemudian diasingkan Belanda ke Srilangka . Setelah
Sunan Kuning menyerah, perang masih berlanjut dibawah pimpinan Sepanjang,
Bupati Martopuro, Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said .
Perang berakhir tahun 1755 dengan perundingan antara
Pakubuwono ketiga dengan Pangeran Mangkubumi lewat Perjanjian Giyanti. Kesultanan Surakarta di pimpin oleh Pakubuwono
Ketiga sedangkan Kesultanan Yogyakarta di pimpin oleh Mangkubumi yang bergelar
Sultan Hamengkubuwono. Dua tahun kemudian Kesultanan Surakarta juga harus
memberikan kekuasaan perdikan Mangkunegaraan kepada Raden Mas Said yang
bergelar Mangku Negoro. Berbeda
dengan bangawan Jawa yang bersedia berunding mengakhiri Perang Kapitan,
Sepanjang dan pejuang Tionghoa tidak pernah menyerah melawan kompeni selagi
belum tertangkap oleh Belanda.
Author by Alpin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar