Kamis, 20 Juli 2017

Hasil kunjungan ke Klenteng sekitar Sewan

Klenteng KWAN IM HUD COUW





Merupakan salah satu klenteng yang terdapat di daerah sekitar sewan tepatnya di jln kedaung wetan tangerang letaknya masuk kedalam gang sempit yang berada di pinggir jalan .sesampainya disana kami bertemu langsung dengan pengurus klenteng bermana kode Sun I ,kedatangan kami di sambut dengan ramah oleh beliau. kemudian kami banyak bertanya mengenai klenteng Kwan Im Hud Couw dan beliau  menjelaskan tentang awal berdirinya kelenteng tersebut .
pada awalnya kelenteng  ini di bangun pada tahun tahun 2000 awalnya hanya berupa kelenteng kecil awal mulanya kenapa bisa berdiri klenteng tersebut karena kepercayaan kode Sun I kepada Kwan Im atau dewi welas asih yang sangat kuat beliau sejak tahun 80an setiap Ceit atau Cap Go beliau selalu menyempatkan untuk pergi sembahyang ke klenteng Boen Tek Bio yang terletak di pasar lama Tangerang. Karena itu beliau dan beberapa orang lainnya memutuskan untuk membangun klenteng Kwan Im Hud Couw sebagai tempat bersembahyang dan berdoa kepada dewa dewi.




 

Tata cara sembahyang di klenteng ini menggunakan hio sebagai alat atau media didalam memanjatkan permhonan dan doa yang ingin di sampaikan kepada dewa dan dewi di klenteng. Setelah selesai bersembahyang kita harus membakar kertas emas atau biasanya disebut kertas Sukim, kertas ini dapat diartikan sebagai uangnya para dewa sebagai rasa terimakasih kita kepada dewa dan dewi.



Di klenteng ini kongco atau dewa utamanya adalah Kwan Im atau dewi welas asih. Dewi Kwan Im Hud couw(dalam bahasa mandarin disebut Guan Yin). Dewi ini dikenal secaa luas sebagai dewi welas asih masyarakat Tionghoa yang masih mengikuti kepercayaan leluhur mereka percaya bahwa Kwan Im dapat mendengarkan keluh kesah mereka yang menderita dan datang menolong, dalam wujud yang berbeda-beda. Patung Kwan Im biasanya dalam perwujudan berbaju putih. Patung Kwan Im baik yang berbentuk dalam keadaan duduk atau berdiri, mempunyai makna sendiri-sendiri.kebanyakan orang akan memilih yang dalam posisi duduk, sebab bentuk ini menimbulkan kesan tenang, tenteram dan anggun, merupakan gambaran pencerahan yang sempurna.



tidak hanya dewa dewi yang berasal dari Tiongkok saja yang ada di klenteng tersebut  tetapi ada juga keramat yang berisi dewa dewi lokal atau leluhur yang terdapat di daerah tersebut.

         


Berkat kerja keras dan kesabaran klenteng Kwa Im Hud Couw sekarang sudah menjadi besar dan memiliki umat dari sekitar tangerang maupun dari luar tangerang. Disini juga terdapat vihara untuk beribadah umat beragama buddha banyak dari masyarakat sekitar yang bersembahyang atau beribadah di sini.




Klenteng SAM PHO THAI JIN



Klenteng Sam Pho Thai Jin berdiri tahun 1922 di daerah lio baru, pintu air kota Tangerang. Pendirinya adalah You Chen Siong sebagai ucapan terima kasih dari seorang pedagang dari Jakarta karena You Chen Siong telah membantu pedagang tersebut sehingga pedagang tersebut memberikan You Chen Siong dana untuk membangun klenteng yang diberi nama Sam Pho Thai Jin . pemberian nama Sam Pho Thai Jin di maksudkan karena adanya pemberian sebuah patung laksamana Ceng Ho dari Tiongkok kepada You Chen Siong sebagai bentuk rasa terimaksih. You Chen Siong adalal seorang tabib tradisional yang memiliki kemampuan pengobatan menggunakan perantara bantuan sebuah Piso Tua yang beliau punya.

Seperti umumnya bangunan klenteng, Klenteng Sam Pho Thai Jin yang terletak di Lio baru, Tangerang, bangunan ini juga didominasi warna merah. Di sini kami bertemu dengan ko Agung selaku pengurus serta keturunan ketiga dari pemilik klenteng Sam Pho Thai Jin kemudian kami diajak untuk berkeliling klenteng tersebut.
                   





Tata cara sembahyang disini hampir sama saja dengan klenteng lainnya dengan menggunakan Hio dan lilin sebagai perantara berdoa serta kertas Sukim yang disimbolkan dengan ucapan syukur atas berkah yang diberikan dewa dan dewi.

Klenteng ini memiliki dewa utama Sam Po Thai Jin yang merupakan seorang laksamana yang berasal dari Tionghoa Cheng Ho lahir pada tahun 1371 di Distrik Kunyang, Provinsi Yunnan, Tiongkok yang pada saat itu mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Ia anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya adalah Ma Hazhi, seorang haji yang akhirnya menjadi korban pertempuran pada masa Dinasti Ming yang pada saat itu ingin mempersatukan seluruh Tiongkok. Selama 27 tahun, Cheng Ho telah memimpin tujuh pelayaran termasuk pelayaran ke wilayah nusantara. Ia adalah seorang panglima yang berbakat membawahi puluhan ribu pelaut dalam ekspedisi laut terbesar dalam sejarah China.
Menurut hikayat, Cheng Ho tidak hanya berhasil memamerkan keperkasaan militer maritim Dinasti Ming, tetapi juga berhasil menunjukkan keluhuran budaya Cina dan berperan penting menyebarkan agama Islam di daerah-daerah kunjungannya terutama di wilayah Sumatera dan Jawa. Ekspedisi Cheng Ho disebutkan menjadi gelombang ketiga penyebar agama Islam setelah gelombang pedagang asal Gujarat dan pedagang dari wilayah Timur Tengah. Terdapat banyak peninggalan ekspedisi Cheng Ho, peninggalannya yang terkenal adalah bangunan Kelenteng Sam Po Kong di Semarang.
Disini juga terdapat semacam keramat yang beisi benda-benda pusaka peninggalan leluhur seperti kris,tombak dan batu-batu.


















AUTHOR BY Alpin





pertanyaan presentasi

1. kenapa di klenteng kwan im tidak ada lilin sedangkan di klenteng sam po thai jin ada ?
2. kenapa kertas sukim antara klenteng kwan im dan sam po thai jin berbeda ?
3. mengapa di klenteng kwan im tidak ada altar sang buddha ?
4. kenapa baju kwan im bajunya putih ?
5. gambar apa yang harus ada di hiolo ?
6. siope apa ?
7. sam po thai jin artinya apa? Dari bahasa apa ?


Jawaban
  1. Karena di klenteng kwan im sedang melakukan renovasi klenteng sehingga tempat untuk meletakan lilinya belum ada jadi untuk sementara sembahyang menggunakan hio dan kertas sukim saja.
  2. Bedanya kertas sukim di klenteng kwan im dan klenteng sam po thai jin terletak pada kertas merah yang bergambarkan dewa-dewa penolong dari empat penjuru mata angin tujuannya agar setiap bersembahyang doa atau permohonan dapat di tolong di jauhkan dari segala bahaya.
  3. Sebenarnya ada tetapi karena meja altarnya kurang jadi altar sang buddha masih di letakan dilanta dua bangunan klenteng.
  4. Menurut narasumbar kami blom ada penjelasanya kenap dewi kwan im menggunakan baju serba putih.
  5. Biasanya terdapat ukiran tulisan aksara Tionghoa yang memiliki arti yang berbeda-beda dan ukiran seperti gamba naga atau singa serta di sertai dengan tanggal pembuatan hiolo tersebut.
  6. Siopeh adalah melepar sepasang blog berbentuk ginjal untuk mengetahui jawaban dari ddewa atau dewi apakah di perbolehkan melakukan ciamsih.
  7. Menurut narasumber Sam po thai jin berasal dari Hokkian yang berarti yang mulia sam po.
















AUTHOR BY alpin

Selasa, 18 Juli 2017

Review Buku Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa

Buku : Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa
Taggal Terbit : Desember 2015
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Komunitas Bambu
Halaman : 224
Dimensi : 14 x 21 cm

Buku ini secara garis besar membicarakan mengenai asal mula masyarakat Tionghoa di pulau Jawa dari mulai datang hingga mereka menyebut diri mereka sebagai peranakan yang cinta akan tanah air Indonesia. Bahkan dalam buku ini juga membahas mengenai peranakan Tionghoa yang telah lupa akan budaya mereka sendiri (budaya Tionghoa)
Mengapa orang Tionghoa yang sudah sejak beberapa generasi tinggal di sini, dengan cara hidup yang juga tidak sama dengan orang Tionghoa di Tiongkok – tetapi juga tak 100% sama dengan penduduk bumiputra – masih tetap saja merupakan satu minoritas dan tidak dilebur (hal. 29)? Pertanyaan ini sering diajukan oleh berbagai pihak.

Onghokham menyatakan bahwa kondisi sosial dan politiklah yang menyebabkan hal tersebut terjadi. VOC-lah yang menyebabkan proses asimilasi peranakan Tionghoa terputus.Onghokham berteori bahwa Belandalah yang menyebabkan peranakan Tionghoa di Jawa tetap dianggap minoritas dan tidak terlebur. Dalam buku ini Ong menggambarkan bahwa di Jawa sebelum abad 19, sudah terjadi proses asimilasi yang natural orang-orang Tionghoa. Namun sejak datangnya Belanda, proses asimilasi ini mandeg. Politik kolonial pemerintah Belanda memang dengan sengaja memisahkan golongan-golongan rasial di Indonesia (hal.2).

Sebelum kehadiran Belanda (abad 19), proses asimilasi antara peranakan Tionghoa ke dalam masyaraat Jawa dan Madura berjalan dengan baik. Ong memberi banyak contoh tentang Tionghoa yang berasimilasi tersebut. Diantaranya adalah banyaknya Tionghoa muslim di Jawa pada era 1766 sehingga mereka diperintah oleh kapiten Cina Muslim. Di Sumenep Madura ada warga negara “asli” peranakan Tionghoa yang secara fisik dan nama sudah tidak lagi bisa dikenali ke-Tionghoa-annya. Bukti lainnya adalah tidak banyak keturunan Tionghoa yang ingat lebih dari 4 generasi di atasnya.

Onghokham menyimpulkan bahwa orang-orang Tionghoa yang datang lebih dari 4 generasi yang lalu telah melebur menjadi bagian dari penduduk dimana mereka tinggal. Dalam buku ini Onghokham juga memberikan contoh asimilasi keturunan Tionghoa di Filipina yang berhasil dengan baik.

Onghokham juga membahas budaya peranakan Tionghoa di Jawa yang dipengaruhi oleh tiga budaya, yaitu budaya Tionghoa, budaya Jawa dan budaya Belanda. Percampuran ketiga budaya ini membuat peranakan Tionghoa di Jawa mempunyai cara hidup yang berbeda dari cara hidup orang Tionghoa di Tiongkok. Dalam hal menempatkan meja sembayang dan aturan tentang rumah sembayang misalnya, sudah sangat berbeda dengan apa yang biasa dilakukan di Tiongkok.

Dalam hal perayaan tahun barupun telah digunakan makanan-makanan Jawa. Dalam perayaan-perayaan di keluarga Tionghoa dipertontonkan kesenian Jawa seperti gamelan dan tandak. Sedangkan budaya Belanda masuk dalam bentuk perabot rumah tangga dan budaya berdansa dan

hidangan pesta di kalangan orang Tionghoa kaya. Budaya Belanda juga merasuki peranakan Tionghoa dalam bentuk bahasa dan pendidikan (sekolah). Para keluarga Tinghoa kaya banyak mengirim anak-anaknya ke sekolah Belanda dan menggunakan Bahasa Belanda dalam percakapan di rumah. Selain dari Bahasa Belanda, Bahasa Melayu yang juga digunakan oleh orang Belanda mulai menggantikan bahasa Jawa yang dulunya dipakai sehari-hari oleh keluarga Tionghoa.

Onghokham berpendapat bahwa sistem hukum yang diterapkan oleh VOC-lah yang menyebabkan asimilasi peranakan Tionghoa tidak berlanjut di Jawa. Sistem hukum dimana masing-masing suku/ras harus memakai hukum mereka sendiri, membuat para peranakan Tionghoa kebingungan. Sebab mereka ini sudah tidak lagi mengenal hukum Tiongkok, sedangkan mereka belum memiliki hukum yang baku. Pada akhirnya, orang-orang peranakan Tionghoa menggunakan hukum Belanda. Selain dari sistem hukum, sistem kewarganegaraan keturunan Tionghoa ini akhirnya juga menjadi masalah. Sebab mereka memiliki dua kewarganegaraan. Status dwi warga negara ini menyebabkan hubungan antara peranakan dengan penduduk asli menjadi semakin renggang.

Ketika kesadaran berorganisasi timbul, para peranakan Tionghoa ini menjadi terpecah pemikirannya. Ada golongan yang menganjurkan untuk berasimilasi dan melebur kepada bangsa Indonesia, ada yang beorientasi kepada Belanda, ada pula yang berorientasi ke tanah leluhur.Ada kelompok lain yang menganjurkan integrasi, yaitu statusnya sebagai etnis peranakan Tionghoa tetap diakui apa adanya dan siap bergabung dalam bernegara di Indonesia.


Adanya minoritas di suatu negara akan menimbulkan persoalan. Apalagi kalau minoritas ini asalnya adalah pendatang. Persoalan prasangka antara minoritas dan mayoritas bisa tiba-tiba memuncak dan mengakibatkan kerusuhan. Menurut Onghokham, asimilasi adalah satu-satunya cara untuk mengatasi persoalan minoritas. Namun gagasan integrasi, dimana peranakan Tionghoa diakui sebagai etnis apa adanya juga sebuah pemikiran yang layak untuk diperhatikan. Selanjutnya terserah kepada masing-masing individu untuk menentukan bagaimana  pilihan mereka ke depan.





Author by Gocap

Minggu, 16 Juli 2017

Review novel








  
Bahasa                                   : Indonesian
Negara                                   : Indonesia
Penerbit                                 :Gramedia,2004
Penulis                                   : Lan Fang
Jumlah halaman                     : 128


Pai Yin adalah seorang gadis desa sederhana yang bekerja sebagai sekretaris di sebuah pabrik plastik di daerah Gaoshan, salah satu daerah di Kabupaten Fujian, Cina. Niko adalah seorang peranakan Cina-Belanda asal Indonesia yang datang ke Gaoshan untuk membantu menyelesaikan masalah di pabrik tempat Pai Yin bekerja. Pertemuan mereka di pabrik itu menjadi awal mula hubungan cinta mereka.

Hubungan mereka tidak berjalan lancar karena ditentang oleh orang tua masing-masing. Orang tua Pai Yin merasa Niko hanyalah seorang Cina keturunan ke-6 yang sudah tidak lagi bermarga dan tidak mengenal adat istiadat Cina. Bagi mereka Niko adalah seorang asing.

Di lain pihak, keluarga Niko ingin Niko menikahi seorang gadis terpelajar, berasal dari keluarga terhormat, modis, dan berada pada level yang sama dengan keluarga mereka. Bagi ayah dan ibu Niko, Pai Yin hanyalah seorang gadis desa yang terlalu sederhana dan tidak cocok untuk menjadi menantu keluarga.

Di saat konflik Cina-Taiwan memanas, Niko harus kembali ke Indonesia karena desakan pihak orang tua dan perusahaan. Dia berjanji akan kembali untuk Pai Yin, lalu pergi meninggalkan gadis itu tanpa mengetahui bahwa Pai Yin tengah mengandung anaknya.Ketika Niko menepati janjinya untuk kembali, Pai Yin malah menghilang tanpa jejak. Bagaimanakah akhir kisah hubungan mereka? Mampukah Niko dan Pai Yin kembali bersatu?

Pai Yin adalah novel kedua karya Lan Fang yang saya baca. Novel yang sebelumnya, Ciuman Di Bawah Hujan, cukup mengecewakan dan membuat saya kurang tertarik untuk melirik karya Lan Fang yang lainnya. Tapi mengingat pengalaman saya dengan V. Lestari sebelumnya, saya rasa tidak adil kalau saya menghakimi Lan Fang sebagai penulis yang buruk hanya berdasarkan satu karya saja, karena itulah saya memutuskan untuk membaca "Pai Yin" ini dan bisa dibilang buku ini merupakan perbaikan "image" saya terhadap si penulis.

Alurnya cukup sederhana dan ringkas. Lan Fang mengangkat soal pengotak-ngotakkan etnis dan romantisme cinta dalam karyanya ini. Poin utama yang membuat cerita ini menarik adalah latar belakang sosial antar tokoh dan bagaimana nilai yang berbeda dianut keluarga kedua tokoh utama. Saat keluarga Pai Yin menganggap anak lelaki yang bekerja di Jepang, anak perempuan yang lulusan universitas, dan sebuah rumah beton bertingkat 4 adalah sebuah kehormatan, keluarga Niko menganggap kehormatan keluarga datang dari tingginya pendidikan dan pola hidup yang mereka pandang terhormat.


Ending ceritanya terasa kurang, karena pertemuan mereka terasa terlalu cepat dan kurang dramatis. Mengingat sebelumnya cerita ini diikutkan penulis dalam lomba cerber Femina (dan juga merupakan pemenang lomba tersebut), mungkin akhir yang terburu-buru ini dikarenakan faktor pembatasan jumlah kata/halaman sebagai syarat lomba.







Author by Alpin

Hasil kunjungan ke Klenteng sekitar Sewan

Klenteng KWAN IM HUD COUW Merupakan salah satu klenteng yang terdapat di daerah sekitar sewan tepatnya di jln kedaung wetan ta...