Buku : Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa
Taggal Terbit : Desember 2015
Bahasa : Indonesia
Penerbit : Komunitas Bambu
Halaman : 224
Dimensi : 14 x 21 cm
Buku ini secara garis besar
membicarakan mengenai asal mula masyarakat Tionghoa di pulau Jawa dari mulai
datang hingga mereka menyebut diri mereka sebagai peranakan yang cinta akan tanah
air Indonesia. Bahkan dalam buku ini juga membahas mengenai peranakan Tionghoa
yang telah lupa akan budaya mereka sendiri (budaya Tionghoa)
Mengapa orang Tionghoa yang sudah
sejak beberapa generasi tinggal di sini, dengan cara hidup yang juga tidak sama
dengan orang Tionghoa di Tiongkok – tetapi juga tak 100% sama dengan penduduk
bumiputra – masih tetap saja merupakan satu minoritas dan tidak dilebur (hal.
29)? Pertanyaan ini sering diajukan oleh berbagai pihak.
Onghokham menyatakan bahwa kondisi
sosial dan politiklah yang menyebabkan hal tersebut terjadi. VOC-lah yang
menyebabkan proses asimilasi peranakan Tionghoa terputus.Onghokham berteori
bahwa Belandalah yang menyebabkan peranakan Tionghoa di Jawa tetap dianggap
minoritas dan tidak terlebur. Dalam buku ini Ong menggambarkan bahwa di Jawa
sebelum abad 19, sudah terjadi proses asimilasi yang natural orang-orang
Tionghoa. Namun sejak datangnya Belanda, proses asimilasi ini mandeg. Politik
kolonial pemerintah Belanda memang dengan sengaja memisahkan golongan-golongan
rasial di Indonesia (hal.2).
Sebelum kehadiran Belanda (abad
19), proses asimilasi antara peranakan Tionghoa ke dalam masyaraat Jawa dan
Madura berjalan dengan baik. Ong memberi banyak contoh tentang Tionghoa yang
berasimilasi tersebut. Diantaranya adalah banyaknya Tionghoa muslim di Jawa
pada era 1766 sehingga mereka diperintah oleh kapiten Cina Muslim. Di Sumenep
Madura ada warga negara “asli” peranakan Tionghoa yang secara fisik dan nama
sudah tidak lagi bisa dikenali ke-Tionghoa-annya. Bukti lainnya adalah tidak
banyak keturunan Tionghoa yang ingat lebih dari 4 generasi di atasnya.
Onghokham menyimpulkan bahwa
orang-orang Tionghoa yang datang lebih dari 4 generasi yang lalu telah melebur
menjadi bagian dari penduduk dimana mereka tinggal. Dalam buku ini Onghokham
juga memberikan contoh asimilasi keturunan Tionghoa di Filipina yang berhasil
dengan baik.
Onghokham juga membahas budaya
peranakan Tionghoa di Jawa yang dipengaruhi oleh tiga budaya, yaitu budaya
Tionghoa, budaya Jawa dan budaya Belanda. Percampuran ketiga budaya ini membuat
peranakan Tionghoa di Jawa mempunyai cara hidup yang berbeda dari cara hidup
orang Tionghoa di Tiongkok. Dalam hal menempatkan meja sembayang dan aturan
tentang rumah sembayang misalnya, sudah sangat berbeda dengan apa yang biasa
dilakukan di Tiongkok.
Dalam hal perayaan tahun barupun
telah digunakan makanan-makanan Jawa. Dalam perayaan-perayaan di keluarga
Tionghoa dipertontonkan kesenian Jawa seperti gamelan dan tandak. Sedangkan
budaya Belanda masuk dalam bentuk perabot rumah tangga dan budaya berdansa dan
hidangan pesta di kalangan orang
Tionghoa kaya. Budaya Belanda juga merasuki peranakan Tionghoa dalam bentuk
bahasa dan pendidikan (sekolah). Para keluarga Tinghoa kaya banyak mengirim
anak-anaknya ke sekolah Belanda dan menggunakan Bahasa Belanda dalam percakapan
di rumah. Selain dari Bahasa Belanda, Bahasa Melayu yang juga digunakan oleh
orang Belanda mulai menggantikan bahasa Jawa yang dulunya dipakai sehari-hari
oleh keluarga Tionghoa.
Onghokham berpendapat bahwa sistem
hukum yang diterapkan oleh VOC-lah yang menyebabkan asimilasi peranakan
Tionghoa tidak berlanjut di Jawa. Sistem hukum dimana masing-masing suku/ras
harus memakai hukum mereka sendiri, membuat para peranakan Tionghoa
kebingungan. Sebab mereka ini sudah tidak lagi mengenal hukum Tiongkok,
sedangkan mereka belum memiliki hukum yang baku. Pada akhirnya, orang-orang
peranakan Tionghoa menggunakan hukum Belanda. Selain dari sistem hukum, sistem
kewarganegaraan keturunan Tionghoa ini akhirnya juga menjadi masalah. Sebab
mereka memiliki dua kewarganegaraan. Status dwi warga negara ini menyebabkan
hubungan antara peranakan dengan penduduk asli menjadi semakin renggang.
Ketika kesadaran berorganisasi
timbul, para peranakan Tionghoa ini menjadi terpecah pemikirannya. Ada golongan
yang menganjurkan untuk berasimilasi dan melebur kepada bangsa Indonesia, ada
yang beorientasi kepada Belanda, ada pula yang berorientasi ke tanah leluhur.Ada
kelompok lain yang menganjurkan integrasi, yaitu statusnya sebagai etnis
peranakan Tionghoa tetap diakui apa adanya dan siap bergabung dalam bernegara
di Indonesia.
Adanya minoritas di suatu negara
akan menimbulkan persoalan. Apalagi kalau minoritas ini asalnya adalah
pendatang. Persoalan prasangka antara minoritas dan mayoritas bisa tiba-tiba
memuncak dan mengakibatkan kerusuhan. Menurut Onghokham, asimilasi adalah
satu-satunya cara untuk mengatasi persoalan minoritas. Namun gagasan integrasi,
dimana peranakan Tionghoa diakui sebagai etnis apa adanya juga sebuah pemikiran
yang layak untuk diperhatikan. Selanjutnya terserah kepada masing-masing
individu untuk menentukan bagaimana
pilihan mereka ke depan.
Author by Gocap
Buku ini secara garis besar
membicarakan mengenai asal mula masyarakat Tionghoa di pulau Jawa dari mulai
datang hingga mereka menyebut diri mereka sebagai peranakan yang cinta akan tanah
air Indonesia. Bahkan dalam buku ini juga membahas mengenai peranakan Tionghoa
yang telah lupa akan budaya mereka sendiri (budaya Tionghoa)
Mengapa orang Tionghoa yang sudah
sejak beberapa generasi tinggal di sini, dengan cara hidup yang juga tidak sama
dengan orang Tionghoa di Tiongkok – tetapi juga tak 100% sama dengan penduduk
bumiputra – masih tetap saja merupakan satu minoritas dan tidak dilebur (hal.
29)? Pertanyaan ini sering diajukan oleh berbagai pihak.
Onghokham menyatakan bahwa kondisi
sosial dan politiklah yang menyebabkan hal tersebut terjadi. VOC-lah yang
menyebabkan proses asimilasi peranakan Tionghoa terputus.Onghokham berteori
bahwa Belandalah yang menyebabkan peranakan Tionghoa di Jawa tetap dianggap
minoritas dan tidak terlebur. Dalam buku ini Ong menggambarkan bahwa di Jawa
sebelum abad 19, sudah terjadi proses asimilasi yang natural orang-orang
Tionghoa. Namun sejak datangnya Belanda, proses asimilasi ini mandeg. Politik
kolonial pemerintah Belanda memang dengan sengaja memisahkan golongan-golongan
rasial di Indonesia (hal.2).
Sebelum kehadiran Belanda (abad
19), proses asimilasi antara peranakan Tionghoa ke dalam masyaraat Jawa dan
Madura berjalan dengan baik. Ong memberi banyak contoh tentang Tionghoa yang
berasimilasi tersebut. Diantaranya adalah banyaknya Tionghoa muslim di Jawa
pada era 1766 sehingga mereka diperintah oleh kapiten Cina Muslim. Di Sumenep
Madura ada warga negara “asli” peranakan Tionghoa yang secara fisik dan nama
sudah tidak lagi bisa dikenali ke-Tionghoa-annya. Bukti lainnya adalah tidak
banyak keturunan Tionghoa yang ingat lebih dari 4 generasi di atasnya.
Onghokham menyimpulkan bahwa
orang-orang Tionghoa yang datang lebih dari 4 generasi yang lalu telah melebur
menjadi bagian dari penduduk dimana mereka tinggal. Dalam buku ini Onghokham
juga memberikan contoh asimilasi keturunan Tionghoa di Filipina yang berhasil
dengan baik.
Onghokham juga membahas budaya
peranakan Tionghoa di Jawa yang dipengaruhi oleh tiga budaya, yaitu budaya
Tionghoa, budaya Jawa dan budaya Belanda. Percampuran ketiga budaya ini membuat
peranakan Tionghoa di Jawa mempunyai cara hidup yang berbeda dari cara hidup
orang Tionghoa di Tiongkok. Dalam hal menempatkan meja sembayang dan aturan
tentang rumah sembayang misalnya, sudah sangat berbeda dengan apa yang biasa
dilakukan di Tiongkok.
Dalam hal perayaan tahun barupun
telah digunakan makanan-makanan Jawa. Dalam perayaan-perayaan di keluarga
Tionghoa dipertontonkan kesenian Jawa seperti gamelan dan tandak. Sedangkan
budaya Belanda masuk dalam bentuk perabot rumah tangga dan budaya berdansa dan
hidangan pesta di kalangan orang
Tionghoa kaya. Budaya Belanda juga merasuki peranakan Tionghoa dalam bentuk
bahasa dan pendidikan (sekolah). Para keluarga Tinghoa kaya banyak mengirim
anak-anaknya ke sekolah Belanda dan menggunakan Bahasa Belanda dalam percakapan
di rumah. Selain dari Bahasa Belanda, Bahasa Melayu yang juga digunakan oleh
orang Belanda mulai menggantikan bahasa Jawa yang dulunya dipakai sehari-hari
oleh keluarga Tionghoa.
Onghokham berpendapat bahwa sistem
hukum yang diterapkan oleh VOC-lah yang menyebabkan asimilasi peranakan
Tionghoa tidak berlanjut di Jawa. Sistem hukum dimana masing-masing suku/ras
harus memakai hukum mereka sendiri, membuat para peranakan Tionghoa
kebingungan. Sebab mereka ini sudah tidak lagi mengenal hukum Tiongkok,
sedangkan mereka belum memiliki hukum yang baku. Pada akhirnya, orang-orang
peranakan Tionghoa menggunakan hukum Belanda. Selain dari sistem hukum, sistem
kewarganegaraan keturunan Tionghoa ini akhirnya juga menjadi masalah. Sebab
mereka memiliki dua kewarganegaraan. Status dwi warga negara ini menyebabkan
hubungan antara peranakan dengan penduduk asli menjadi semakin renggang.
Ketika kesadaran berorganisasi
timbul, para peranakan Tionghoa ini menjadi terpecah pemikirannya. Ada golongan
yang menganjurkan untuk berasimilasi dan melebur kepada bangsa Indonesia, ada
yang beorientasi kepada Belanda, ada pula yang berorientasi ke tanah leluhur.Ada
kelompok lain yang menganjurkan integrasi, yaitu statusnya sebagai etnis
peranakan Tionghoa tetap diakui apa adanya dan siap bergabung dalam bernegara
di Indonesia.
Adanya minoritas di suatu negara
akan menimbulkan persoalan. Apalagi kalau minoritas ini asalnya adalah
pendatang. Persoalan prasangka antara minoritas dan mayoritas bisa tiba-tiba
memuncak dan mengakibatkan kerusuhan. Menurut Onghokham, asimilasi adalah
satu-satunya cara untuk mengatasi persoalan minoritas. Namun gagasan integrasi,
dimana peranakan Tionghoa diakui sebagai etnis apa adanya juga sebuah pemikiran
yang layak untuk diperhatikan. Selanjutnya terserah kepada masing-masing
individu untuk menentukan bagaimana
pilihan mereka ke depan.
Author by Gocap
Tidak ada komentar:
Posting Komentar